Suara.com - Bagi masyarakat sekitar Bugis Makassar, tentu tidak asing lagi dengan tradisi uang panai. Tradisi ini berupa pemberian "uang belanja" dari seorang pria yang melamar wanita asal Bugis Makassar.
Sekilas, mungkin beberapa orang berpikir bahwa uang panai ini sama dengan uang mahar. Namun satu hal yang perlu diketahui, jumlah uang panai ini tidaklah sedikit. Oleh karenanya, tidak jarang syarat uang panai terasa memberatkan pihak pria. Walau begitu, tentu saja mahalnya uang panai ini bukan tanpa alasan.
Uang Panai Disesuaikan oleh Status Pendidikan dan Keturunan
Salah satu hal yang mungkin sudah banyak diketahui tentang tradisi uang panai adalah besarannya yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keturunan. Jika ingin meminang gadis lulusan SMA, uang panai yang harus disiapkan berkisar Rp50 juta.
Sementara itu, untuk wanita pemegang ijazah S1, uang panai yang harus diberikan bisa mencapai Rp150 juta. Jumlah ini akan terus bertambah, belum termasuk dengan uang panai dari keturunan.
Bagi wanita yang memiliki keturunan bangsawan atau darah biru, uang panai yang harus dibayarkan bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.
Alasan Uang Panai Mahal
Zaman dulu, dipercaya bahwa adanya uang panai ini digunakan orang tua pihak wanita untuk melihat keseriusan pria yang akan melamar anaknya. Jadi, cukup sulit mendapat gadis Bugis Makassar, namun susah juga melepaskannya. Pasalnya pihak pria akan berpikir seribu kali untuk melepaskan wanita yang sudah membuatnya banyak berkorban.
Selain itu, mahalnya uang panai juga merupakan bentuk penghargaan pria kepada gadis yang akan dinikahi. Dari sini dapat dilihat bahwa suku Bugis sangat menghargai keberadaan perempuan sebagai makhluk yang berharga.
Baca Juga: 3 Kriteria Mutlak yang Harus Dimiliki Calon Pasangan saat Kalian Menikah
Kawin Lari
Salah satu akibat dari besarnya uang panai, selain membuat beberapa hubungan percintaan kandas di tengah jalan, adalah adanya silariang atau kawin lari.
Bagi orang Bugis, pengambilan keputusan untuk kawin lari ini dianggap sangat memalukan dan dianggap sebagai aib. Oleh karena itu, di dalam adat Bugis Makassar, mereka yang melakukan silariang juga dianggap mati.
Namun, mati di sini bukan berarti mati sesungguhnya, melainkan dianggap sudah tidak ada. Beberapa dari mereka yang melakukan silariang bahkan tidak lagi diterima di rumahnya.
Kontributor : Hillary Sekar Pawestri
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
Terkini
-
Kenali Ciri-Ciri Adidas Samba KW, Jangan Tergiur Harga Bersahabat!
-
Keajaiban Musim Gugur Colorado: Petualangan Kereta Api yang Memukau Hati!
-
Decluttering Mission 2025, Astra Motor Yogyakarta Ajak Anak SMK 'Beresin' Lemari Jadi Cuan
-
Inovasi Dunia Skincare: Tren Riasan dan Fokus pada Perawatan Pria
-
8 Cara Jitu Bedakan Sepatu Vans Asli dan KW, Jangan Sampai Ketipu!
-
Zulhas Sebut Udang Terpapar Radioaktif Masih Aman Dikonsumsi, Padahal Ini Bahayanya...
-
Onitsuka Tiger Made in Indonesia Apakah Ori? Ini Penjelasan Lengkapnya
-
Tepuk Sakinah Wajib atau Tidak? Simak Penjelasan Pihak KUA
-
Apa Itu Cesium-137? Zat Radioaktif yang Ditemukan di Udang Cikande
-
Intip Jumlah Kekayaan Dedi Mulyadi, Dapat Peringatan dari Prabowo saat Akad Massal KPR