Lifestyle / Komunitas
Jum'at, 19 September 2025 | 16:54 WIB
Tiga Produk dalam Proyek Karana (Instagram/@studio_hendro_hadinata)
Baca 10 detik
  • Furnitur sekarang bukan sekadar dekorasi, tapi bagian dari gaya hidup green dan conscious yang bikin rumah jadi lebih hidup.
  • Pada Design Talks 2025, AHEC berkolaborasi dengan Studio Hendro Hadinata, salah satu studio lokal yang fokus memproduksi desain furnitur dari bahan kayu yang berkualitas.
  • Penggunaan bahan material berupa kayu asal internasional masih bisa bersinergi dengan filosofi desain lokal.

Suara.com - Bayangin rumah kamu dipenuhi furnitur kayu yang tak cuma bikin estetik, tapi juga punya cerita dan ikut menjaga bumi. Dari kursi santai yang terinspirasi budaya Bali sampai lampu gantung dengan material kayu internasional yang dikelola berkelanjutan.

Tren furnitur sekarang makin keren dan penuh makna. Bukan sekadar dekorasi, tapi bagian dari gaya hidup green dan conscious yang bikin rumah jadi lebih hidup.

Tren ini juga yang lagi jadi sorotan di pameran furnitur dan kerajinan internasional IFFINA+ 2025 di ICE BSD, Tangerang. Tahun ini, pameran bukan cuma jadi ajang pamer produk, tapi juga ruang diskusi lewat Design Talks.

Di sini, pelaku industri furnitur, desainer, sampai brand berbagi insight soal bagaimana furnitur bisa tetap estetik, inovatif, dan ramah lingkungan.

Salah satu yang menarik perhatian adalah kolaborasi “Karana” dari AHEC dan Studio Hendro Hadinata, yang memadukan material kayu internasional dengan filosofi hidup ala Bali.

American Hardwood Export Council (AHEC), yakni sebuah organisasi global yang sudah lebih dari 25 tahun mempromosikan kayu keras atau hardwood turut meramaikan sesi Design Talks.

Dalam acara tersebut, tahun ini AHEC mengajak kolaborasi salah satu desainer berbakat asal Indonesia sekaligus Founder dari Studio Hendro Hadinata, yakni Hendro Hadinata.

Salah satu kontribusi penting dan serius AHEC dalam praktik desain furnitur yang sustainable ialah penerapan Life Cycle Assessment (LCA) sebagai pengukur jejak karbon furnitur berbasis American Hardwood secara menyeluruh. Mulai dari penen, pengolahan, dan distribusi. 

Proyek Kolaborasi “Karana”

Baca Juga: 8 Tips Mendekorasi Rumah Pakai Furnitur Kayu, Anti Kuno Tetap Modern!

Pada Design Talks 2025, AHEC berkolaborasi dengan Studio Hendro Hadinata, salah satu studio lokal yang fokus memproduksi desain furnitur dari bahan kayu yang berkualitas. Dalam kolaborasi ini, terciptalah proyek eksperimental bernama Karana yang menjadi salah satu wujud dari praktik desain berkelanjutan di Indonesia. 

Tidak hanya mengedepankan proyek furnitur berkelanjutan, penciptaan Karana juga menggunakan pendekatan desain dengan berbasis narasi budaya.

Karana sendiri memiliki tiga koleksi utama yang berkaitan erat dengan budaya Bali, di antaranya ada Kuta Bench, Sanur Lounge Chair, dan Ubud Light. 

Ketiga koleksi tersebut terinspirasi dari filosofi hidup dan ajaran agama Hindu di Bali bernama Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana sendiri menggambarkan hubungan harmoni antara spiritualitas (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan).

Koleksi dari proyek kolaborasi tersebut juga terinspirasi dari karya pematung Bali, Ida Bagus Nyana yang aktif berkarya di era 1930-an. Salah satu inspirasinya direpresentasikan dengan menggabungkan bentuk mengalir dan memanjang. 

Pada koleksi Karana, Studio Hendro Hadinata menggunakan kayu keras America atau American Hardwood dari spesies red oak, maple, dan cherry yang hingga saat ini penggunaannya masih langka dalam dunia furnitur di Asia Tenggara.

Melalui Karana, Hendro Hadinata pun berupaya untuk menunjukkan jika penggunaan bahan material berupa kayu asal internasional masih bisa bersinergi dengan filosofi desain lokal dan yang terpenting memiliki tanggung jawab kepada lingkungan karena furnitur berbahan kayu dapat menyerap kadar emisi di udara.

“Material ini tidak hanya kuat dan mudah di-finishing, tapi juga menawarkan variasi serat dan warna yang kaya sehingga memberi fleksibilitas kreatif,” ungkap Hendro.

Hendro juga menambahkan jika proyek Karana menjadi bukti untuk memperkaya narasi lokal serta dapat memperkuat posisi desain furnitur Indonesia di kancah internasional. 

Furnitur untuk Estetika dan Lingkungan

Selain mengajak kolaborasi dengan Studio Hendro Hadinata, Design Talks turut menghadirkan Dennis Pluemer selaku Founder Santai Furniture. Santai Furniture sendiri merupakan brand yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar kayu.

Walau berasal dari Jerman, Dennis menyampaikan jika setiap furnitur yang diproduksi oleh Santai Furniture terinspirasi dari budaya asal Jawa yang menurutnya kaya akan makna, tidak hanya untuk estetika, tetapi juga kehidupan.

Sama seperti Studio Hendro Hadinata, Santai Furniture juga menggunakan kayu sebagai material utama pembuatan furnitur. Salah satu bahan utama yang digunakan ada solid wood, seperti kayu jati dan bambu.

Menurut Dennis, dua jenis kayu tersebut memiliki daya tahan yang tinggi dan mudah didesain, baik dari segi warna maupun bentuk. 

Selain estetika, Santai Furniture juga konsisten dengan praktiknya dalam membuat furnitur yang berkelanjutan.

Dennis menekankan jika pemilihan material dalam furnitur memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keberlanjutan dalam jangka panjang. Menurutnya, pemilahan material yang ramah lingkungan telah menjadi pilihan konsumen.

“Konsumen kini semakin peduli pada dampak lingkungan. Material seperti American Hardwood, dikelola secara berkelanjutan dan tumbuh lebih cepat, memberi opsi penting untuk menjawab permintaan furnitur yang ramah lingkungan di pasar lokal maupun global,” ucap Dennis. 

Kemudian, sejalan dengan penerapan Life Cycle Assessment (LCA), Dennis sempat menyampaikan jika bahan atau material kayu yang digunakan pada Santai Furniture sendiri tetap mengupayakan tindakan konservasi agar tetap lestari dan terjaga jumlahnya.

“Untuk kayu jati, upaya konservasi itu dilakukan atau di-manage oleh pihak perkebunannya secara langsung dan melakukan penanaman baru. Sedangkan, untuk bambu itu sebenarnya sangat menarik karena tanaman bambu itu tumbuh cepat. Biasanya kita hanya ambil pohon bambu yang sudah berusia 5 tahun karena di tahun ke-6 dan ke-7, pohon bambu akan mati dan jadi rooting,” jelas Dennis. 

Dennis menjelaskan jika menggunakan pohon bambu yang berusia 5 tahun akan memberikan hasil yang bagus pada proses pembuatan furnitur.

Selain itu, pemilihan pohon bambu di tahun kelima tersebut dapat membantu memperbaiki sistem iklim di bumi karena terhindar dari rooting process. Sifat bambu yang tumbuh cepat juga menjadi kelebihan sendiri untuk melestarikan jumlah pemakaiannya. 

Sesi Design Talks pada IFFINA+ 2025 menjadi langkah penting sekaligus contoh bahwasanya terdapat berbagai cara untuk menjaga kelestarian bumi, salah satunya melalui pembuatan furnitur berbahan dasar kayu.

Proyek Karana dan Santai Furniture diharapkan dapat menjadi sebuah generasi baru dalam dunia desain furnitur Indonesia yang berani eksplor material global, tanpa kehilangan jati diri lokal dan merusak lingkungan.

(Annisa Deli Indriyanti)

Load More