News / Nasional
Kamis, 18 September 2025 | 14:53 WIB
Ketua TGPF 98 Marzuki Darusman menyampaikan keterangan mengenai tuntutan yang dilayangkan kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (18/9/2025). [Suara.com/Faqih]
Baca 10 detik
  • Menteri Fadli Zon digugat karena sangkal perkosaan massal 1998.
  • Penggugat tuntut Fadli Zon cabut pernyataan dan minta maaf.
  • Pernyataannya dinilai melukai dan mencederai para korban tragedi.
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Gugatan hukum untuk melawan upaya pembelokan sejarah resmi dimulai. Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon kini dihadapkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas pernyataannya yang kontroversial, beberapa Waktu lalu.

Kala itu, Fadli Zon menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Sidang perdana yang berlangsung secara tertutup pada Kamis (18/9/2025) ini menjadi babak baru perjuangan para korban dan pegiat HAM. 

Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, Marzuki Darusman, yang memimpin gugatan tersebut menegaskan bahwa tuntutan mereka hanya satu, yakni kebenaran historis harus ditegakkan.

"Gugatan ini tertuju untuk meminta pada Menteri Kebudayaan menarik pernyataan yang dilakukan beberapa waktu lalu yang bertalian dengan peristiwa lagi di bulan Mei 1998 yang dikatakan oleh Menteri, seolah-olah itu sama sekali tidak terjadi,” jelas Marzuki usai persidangan.

Menurut Marzuki, pernyataan seorang pejabat publik setingkat menteri yang mencoba mengaburkan fakta sejarah telah menyebabkan 'cedera lanjutan' bagi para korban yang masih hidup.

“Pernyataan Menteri mengalami cedera lanjutan, sebagai akibat dari pernyataan-pernyataan yang mengingkari kebenaran dan keseriusan dari tindakan kekerasan yang dialami oleh mereka yang menjadi korban,” ujarnya.

Hal ini bertolak belakang secara diametral dengan temuan TGPF yang dibentuk oleh negara, yang secara eksplisit menemukan adanya kekerasan seksual massal pada saat itu.

"Tim gabungan pencari fakta yang dibentuk untuk meneliti menyelidiki kekerasan-kekerasan terjadi selama tiga hari, yang bersangkutan dengan pemerkosaan masal perempuan keturunan Tionghoa," jelasnya.

Baca Juga: Sidang Gugatan Perkosaan Mei '98, Kuasa Hukum Fadli Zon Mengaku Belum Tahu Objek Perkara

Tuntutan Cabut Pernyataan dan Permintaan Maaf

Oleh karena itu, pihak penggugat mendesak agar pengadilan memerintahkan Fadli Zon untuk tidak hanya mencabut pernyataannya, tetapi juga meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia.

"Mudah-mudahan kita akan dapat keputusan yang adil dan yang benar yaitu Menteri dinyatakan perlu didasarkan kepada undang-undang mencabut pernyataannya dan sekaligus meminta maaf kepada publik secara publik atas apa yang diucapkannya," katanya.

Sebelumnya, Fadli Zon menyebut bahwa peristiwa Mei 1998 masih bisa diperdebatkan, termasuk soal adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.

Bahkan, dia menyebut tidak ada bukti dan penulisan dalam buku sejarah tentang adanya peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.

“Nah, ada perkosaan massal. Betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu ngggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada," ucap Fadli Zon, Senin (8/6/2025).

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon saat ini sedang mendapat tuntutan dari koalisi masyarakat sipil terkait pernyataan kontroversialnya mengenai korban pemerkosaan massal '98 yang terjadi pada etnis Tionghoa.

Temuan TGPF Mei 1998

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 melakukan investigasi dengan mengumpulkan dan mengolah data dari berbagai sumber, menampung informasi dari kotak pos dan hotlines, serta membentuk subtim verifikasi, subtim testimoni, dan subtim fakta korban pada 23 Juli hingga 23 Oktober 1998.

Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi kekerasan seksual, termasuk perkosaan dalam kerusuhan pada 13 hingga 15 Mei 1998 yang dilakukan terhadap sejumlah perempuan oleh para pelaku di berbagai tempat berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan, yang terjadi secara spontan karena situasi yang mendukung atau direkayasa oleh kelompok tertentu dengan tujuan tertentu.

"Korban adalah penduduk Indonesia dengan berbagai latar belakang yang di antaranya kebanyakan adalah etnis Cina," demikian dikutip dari laporan TGPF Mei 1998 yang dipublikasikan dalam Laporan Hasil Dokumentasi: Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya halaman 35 sampai 37 yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan.

TGPF Mei 1998 mengungkapkan fakta tersebut sudah diverifikasi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap 85 kasus kekerasan seksual.

Dari penyelidikan itu, TGPF Mei 1998 menyimpulkan kekerasan seksual pada saat itu terjadi dalam empat bentuk.

Adapun empat bentuk kekerasan seksual pada Mei 1998 yang terjadi ialah 52 kasus perkosaan, 14 kasus perkosaan dengan penganiayaan seksual, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual.

Load More