News / Nasional
Selasa, 02 Desember 2025 | 07:15 WIB
Ilustrasi gajah Sumatra jadi korban banjir. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Seekor Gajah Sumatra ditemukan mati di Gampong Meunasah Lhok, Pidie Jaya, Aceh pada 29 November 2025 pasca banjir melanda wilayah tersebut.
  • Deforestasi 1,4 juta hektare di Aceh, Sumut, dan Sumbar antara 2016–2025 oleh ratusan perusahaan memperparah bencana ekologis.
  • Diperlukan restorasi koridor gajah dan penegakan regulasi tata ruang tegas untuk mencegah kepunahan satwa kritis ini.

Suara.com - LANGIT kelabu masih menggantung di atas Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh saat beberapa warga dengan waspada menembus sisa lumpur dan puing-puing yang ditinggalkan banjir

Di tengah aroma tanah basah dan kayu lapuk, mata mereka tertuju pada gundukan besar berwarna kelabu yang janggal, terjepit di antara tumpukan kayu gelondongan dan lumpur pekat. 

Saat didekati, pemandangan itu mengoyak hati. Seekor Gajah Sumatra ditemukan tak bernyawa pada Sabtu, 29 November 2025.

"Di desa ini tidak ada gajah, warga belum pernah lihat gajah karena biasanya gajah ada di hutan," kata warga Desa Gampong Meunasah Lhok, Muhammad Yunus dikutip dari ANTARA.

“Baru sekarang ini kami lihat gajah mati karena banjir,” imbuh Yunus terheran.

Bangkai satwa ikonik ini bukan sekadar korban dari "amukan" alam. Kematiannya adalah simbol tragis dari dampak ganda sebuah bencana akibat kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan dan diperparah oleh krisis iklim hingga menimbulkan kerugian tak ternilai—bukan hanya bagi manusia, tapi juga populasi hewan yang sudah di ambang kepunahan. 

1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terdeforestasi (2016-2025). (Dok. WALHI)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat sepanjang periode 2016 hingga 2025, tak kurang dari 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA dan PLTM.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, Ahmad Solihin menyebut banjir yang melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh itu memberikan satu pesan keras, bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia. 

"Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang," jelas Solihin dalam keterangannya kepada Suara.com, Senin (1/12/2025).

Baca Juga: Banjir di Aceh Tamiang, Maell Lee 4 Hari Hilang Kontak dengan Keluarga

Temuan ini setidaknya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa bencana hadir semata-mata bukan karena krisis iklim, tapi dipengaruhi kerusakan lingkungan yang perlu segera mendapat perhatian serius. 

Krisis Populasi Gajah yang Kian Genting

Sementara Gajah Sumatra atau Elephas Maximus Sumatranus telah lama menyandang status kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Status ini hanya satu langkah lagi dari "punah di alam liar." 

Populasi mereka merosot drastis dalam beberapa dekade terakhir, sebuah fakta suram yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam satu kesempatan mengungkap, populasi Gajah Sumatra kini diperkirakan tersisa tak lebih dari 1.100 ekor di 22 lanskap alam. 

Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi memperingatkan di balik angka tersebut tersembunyi tren yang jauh lebih mengkhawatirkan. Di mana dalam jangka panjang menurutnya populasi gajah cenderung menurun atau tidak stabil. 

Situasi ini disebabkan oleh kombinasi maut dari fragmentasi habitat yang mengisolasi populasi, konflik yang tak kunjung usai di pinggiran hutan, perburuan, hingga pembangunan infrastruktur yang membelah rumah mereka. 

“Secara umum, situasi populasi hari ini mengkhawatirkan kecuali dilakukan intervensi serius, tepat, teruji dan kuat,” ungkap Donny kepada Suara.com, Senin (1/12/2025).

Di sisi lain bencana banjir seperti yang melanda sebagian wilayah Sumatra menjadi pemicu eskalasi krisis ini. Saat air bah menenggelamkan hutan dataran rendah yang menjadi habitat utama mereka, gajah secara naluriah terpaksa bergerak mencari dataran yang lebih tinggi dan aman.

Sialnya, dataran tinggi yang mereka tuju kini bukan lagi hutan lebat, melainkan perkebunan sawit atau desa-desa yang padat penduduk. Pergerakan inilah yang sering kali memicu konflik. 

Hingga kekinian memang belum dapat dipastikan apakah gajah di Meureudu mati karena tenggelam dan kelelahan melawan arus, atau menjadi korban konflik saat mencoba menyelamatkan diri. Nekropsi (autopsi pada hewan) akan menjadi kunci untuk mengungkap penyebab pastinya.

Namun yang pasti, banjir ini secara brutal memetakan betapa terfragmentasinya rumah mereka. Wilayah yang terendam adalah bukti hilangnya koridor—jalur alami yang digunakan gajah untuk berpindah antar kantong habitat. Ketika jalur ini terputus oleh perkebunan atau infrastruktur, gajah terjebak, terisolasi, dan semakin rentan.

FKGI sendiri, menurut Donny, telah membantu pemerintah dalam mengidentifikasi 16 koridor utama di Sumatra yang vital untuk diselamatkan demi menjaga konektivitas antar kantong habitat.

Status Konservasi Gajah Sumatra. (Suara.com/Aldie)

Langkah Pemulihan dan Menyambung Kembali Harapan

Kematian gajah di Meureudu sudah seharusnya menjadi titik balik. Diperlukan langkah-langkah konkret dan terintegrasi untuk mencegah tragedi serupa terulang.

Restorasi koridor gajah harus jadi prioritas utama untuk menyambungkan kembali "jalan tol" alami bagi mamalia besar tersebut. Misalnya dengan membeli kembali lahan kritis di antara dua kawasan hutan, atau membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan perkebunan untuk menyediakan jalur perlintasan satwa.

Donny juga menekankan perlunya respons cepat dan terintegrasi, mulai dari analisis forensik penyebab kematian gajah hingga pemetaan area kritis yang terendam. Sedangkan solusi jangka panjang, kata dia, juga menuntut adanya komitmen politik yang kuat. 

Menurut Donny, langkah paling berdampak saat ini adalah bagaimana menguatkan dan menegakkan zonasi tata ruang yang melindungi koridor wildlife dan refugia topografis atau daratan tinggi.

Salah satu contoh kolaborasi yang mulai digulirkan adalah program Peusangan Elephant Conservation Initiative atau PECI, yang digencarkan di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik Presiden Prabowo Subianto di Aceh. 

Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menyatakan pihaknya bakal merehabilitasi habitat sekaligus menghitung ulang populasi di sana. Inisiatif ini juga melibatkan masyarakat di 12 desa penyangga untuk menyiapkan pakan, mineral, dan kubangan air, dengan harapan gajah akan lebih betah di habitatnya.

Model keterlibatan masyarakat ini menjadi kunci, karena untuk berhasil, mereka tidak bisa hanya menjadi objek. Donny menilai masyarakat sudah seharusnya menjadi garda depan, bukan hanya penerima program. Dengan menjadi garda depan, masyarakat harapannya dapat berperan aktif dalam pemantauan, deteksi dini konflik, hingga restorasi berbasis komunitas.

"Program yang top-down tanpa peran komunitas sering kurang efektif," ungkapnya. 

Di samping itu sikap tegas pemerintah jadi satu hal yang paling mendesak. Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian menilai pemerintah, baik di tingkat daerah maupun melalui Kementerian Kehutanan, harus memperkuat regulasi tata ruang yang berpihak pada konservasi. Menurutnya, penegakan hukum yang tegas terhadap perambahan hutan ilegal dan pembukaan lahan di zona lindung harus menjadi prioritas tanpa kompromi.

“Jika harus dilakukan pencabutan izin, maka itu harus dilakukan. Apalagi Menteri Kehutanan sudah bilang akan mengevaluasi, ya sekarang kami tagih, kami punya nama-nama perusahaannya, silakan evaluasi dan lakukan penegakan hukum," ujar Uli dalam keterangannya kepada Suara.com. 

Hal lain yang tak kalah penting menurut Uli adalah menagih pertanggungjawaban korporasi untuk menanggung biaya eksternalitas dari bencana yang terjadi. Ia menekankan negara tidak boleh menanggung biaya eksternalitas itu sendiri, karena uang yang akan dipakai adalah uang negara yang sumbernya dari pajak rakyat.

"Jadi negara juga harus menagih tanggung jawab korporasi untuk memulihkan ekosistem yang telah mereka rusak. Mereka telah menikmati keuntungan besar dari eksploitasi alam, saatnya mereka juga ditagih tanggungjawab untuk memulihkannya," tegasnya. 

Peta izin regulasi tata ruang yang berpihak pada konservasi. (Dok. WALHI)

Alarm Terakhir dari Sang Raksasa

Bangkai gajah di Meureudu yang terjepit di antara tumpukan kayu gelondongan dan membeku dalam lumpur adalah sebuah alarm yang memekakkan telinga. 

Ia seolah berteriak bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan kerusakan lingkungan dan krisis iklim dari krisis keanekaragaman hayati; yang saling terkait dan saling memperburuk.

Sudah saatnya kita melihat gajah bukan sebagai "hama" pengganggu, melainkan sebagai insinyur ekosistem dan indikator kesehatan hutan Sumatra. 

Hutan yang sehat untuk gajah adalah hutan yang mampu menahan laju air, menyediakan udara bersih, dan menopang kehidupan jutaan manusia. Mendukung program konservasi dan mendesak implementasi tata ruang yang berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk kelangsungan hidup kita bersama.

Apalagi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pernah berkata:

“Gajah Sumatra ini adalah harga diri Sumatra, bahkan harga diri bangsa kita Indonesia. Ini adalah kekayaan negara yang banyak negara tidak memiliki. Saya kira kita akan pertahankan,” saat jumpa pers di Kantor Kementerian Kehutanan, Jakarta, Kamis (7/8/2025) lalu.

Load More