News / Nasional
Selasa, 02 Desember 2025 | 17:08 WIB
Kejagung mencabut pencekalan Dirut PT Djarum, Victor Rachmat Hartono di kasus korupsi pajak. (Grafis Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Kejagung mencabut pencekalan Dirut PT Djarum, Victor Hartono, dalam dua minggu karena alasan sikap kooperatif selama penyidikan.
  • Pencabutan kilat ini memicu tuntutan transparansi dari pakar hukum mengenai indikator konkret "kooperatif" tersebut.
  • Kasus dugaan manipulasi pajak 2016-2020 ini juga mencekal empat orang lain, menyangkut integritas sistem perpajakan nasional.

Suara.com - Sebuah keputusan mengejutkan dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang secara tiba-tiba mencabut status pencegahan bepergian ke luar negeri (cekal) terhadap Direktur Utama PT Djarum, Victor Rachmat Hartono. Keputusan ini menjadi sorotan, mengingat status cekal dalam kasus dugaan korupsi manipulasi pajak periode 2016-2020 itu baru berumur sekitar dua minggu.

Pencabutan yang terbilang kilat ini pun memantik pertanyaan. Awalnya, Victor Hartono dicekal pada Kamis (20/11/2025) untuk mempermudah proses penyidikan. Namun, kini korps Adhyaksa berdalih bahwa salah satu orang terkaya di Indonesia itu telah menunjukkan sikap yang baik selama proses pemeriksaan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa sikap kooperatif Victor menjadi pertimbangan utama penyidik untuk membuka kembali aksesnya ke luar negeri.

Namun, alasan "kooperatif" ini dianggap sebagai sebuah jawaban yang terlalu sederhana untuk kasus sebesar ini, memicu keraguan dan tuntutan transparansi dari para ahli hukum.

Misteri di Balik Kata 'Kooperatif'

Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna. [Suara.com/Faqih]

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah, menilai bahwa keputusan sepenting pencabutan cekal dalam kasus yang menarik perhatian publik seharusnya tidak hanya didasarkan pada klaim subjektif penyidik. Ia mendorong adanya mekanisme yang lebih terbuka dan teruji.

“Keputusan semacam ini apa lagi kasus besar dapat melalui jalur yang dapat diuji objektifitasnya, misalnya gugatan ke pengadilan oleh orang yang dikenai pencekalan, sehingga setidaknya keputusan yang dikeluarkan memang suatu hal yang teruji dan pantas diberikan,” kata Hery dikutip, Minggu (30/11/2025).

Menurut Hery, Kejagung memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada publik secara rinci, indikator apa saja yang membuat Victor Hartono dianggap kooperatif. Tanpa penjelasan mendalam, keputusan ini berpotensi menimbulkan prasangka liar di tengah masyarakat.

“Penjelasan kooperatif itu apa, kan tentu juga penting dijelaskan,” katanya.

Baca Juga: Terungkap! Ini Alasan Kejagung Cabut Status Cekal Bos Djarum Victor Hartono di Kasus Pajak

Transparansi ini, lanjutnya, krusial untuk menjaga kepercayaan dan dukungan publik terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan.

“Agar tidak ada prasangka dan aparat penegak hukum benar-benar mendapat dukungan publik,” jelas Hery.

Mengurai Benang Kusut Kasus Manipulasi Pajak

Pencekalan Victor Rachmat Hartono berawal dari penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Penyidik mengendus adanya dugaan kongkalikong antara oknum di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan wajib pajak.

Modusnya diduga dengan merekayasa atau memperkecil nilai pembayaran pajak yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Sebagai imbalannya, oknum pejabat pajak diduga kuat menerima sejumlah keuntungan atau suap dari wajib pajak tersebut.

Selain Victor, ada empat nama lain yang turut dicekal dalam waktu bersamaan. Mereka adalah Ken Dwijugiasteadi (mantan Dirjen Pajak), Karl Layman (pemeriksa pajak), Heru Budijanto Prabowo (konsultan pajak), dan Bernadette Ning Dijah Prananingrum (Kepala KPP Madya Semarang).

Nasib Empat Saksi Lain Masih Menggantung

Ironisnya, saat Kejagung dengan tegas mengumumkan pencabutan cekal untuk Victor Hartono, nasib keempat orang lainnya seolah dibiarkan menggantung. Kapuspenkum Anang Supriatna mengaku belum mendapat informasi lebih lanjut mengenai status cekal mereka dari tim penyidik.

"Yang jelas informasi yang saya dapat dari penyidik hanya terhadap bersangkutan dulu ya, itu saja," kata Anang pada Senin (2/12/2025).

Sementara itu, penyidikan kasus ini terus berjalan. Tim penyidik bahkan telah melakukan penggeledahan di delapan lokasi berbeda di wilayah Jabodetabek pada Minggu (23/11/2025), dan berhasil menyita sejumlah aset, termasuk satu unit mobil Toyota Alphard, dua motor gede (moge), serta berbagai dokumen penting yang terkait dengan perkara ini.

Jejak Skandal BLBI di Balik Cekal Bos Djarum, Kenapa Kasus Pajak Ini Begitu Penting?

Victor Hartono [PB Djarum]

Sementara, pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menyebut pencekalan ini sebagai langkah yang sangat tepat dan wajar.

Menurutnya, ini adalah tindakan administratif yang lazim dilakukan untuk memastikan proses penyidikan berjalan efektif tanpa ada intervensi atau kemungkinan saksi kunci melarikan diri.

“Saya melihat ini sebagai bagian dari prosedur hukum yang harus dihormati,” ujar Hardjuno sebagaimana dilansir kantor berita Antara, Sabtu (29/11/2025).

Namun, di balik kewajaran prosedur tersebut, Hardjuno menyoroti sebuah isu yang jauh lebih fundamental yakni keadilan fiskal.

Ia menegaskan bahwa kasus yang menyeret nama besar seperti Djarum harus diproses secara serius karena menyangkut integritas sistem perpajakan nasional dan penerimaan negara. Baginya, tidak boleh ada perlakuan istimewa di mata hukum.

“Tidak boleh ada perbedaan perlakuan antara usaha kecil dan konglomerasi. Kepatuhan pajak adalah pondasi kepercayaan publik,” tegasnya.

Analisis Hardjuno selanjutnya, ia menarik benang merah antara kasus ini dengan pelajaran pahit dari penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan skema obligasi rekapitalisasi pasca-krisis moneter 1998.

Ia mengingatkan, hubungan antara negara dan korporasi di masa lalu telah menyisakan beban fiskal jangka panjang yang ditanggung rakyat akibat minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan.

Menurutnya, pengalaman BLBI adalah bukti nyata betapa berbahayanya relasi keuangan antara negara dan korporasi jika tidak dikelola secara terbuka. Risiko moral hazard atau bahaya moral menjadi sangat besar, dan dampaknya terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Dikatakan bahwa pengalaman BLBI menunjukkan, "ketika relasi keuangan negara dan korporasi tidak dikelola secara terbuka, maka risiko moral hazard alias bahaya moral sangat besar."

Karena adanya sejarah panjang yang problematis ini, setiap perkara yang menyangkut kepatuhan pajak dari korporasi skala besar di era sekarang perlu ditangani dengan standar transparansi tertinggi.

“Dalam kasus apa pun yang melibatkan grup besar, termasuk Djarum, transparansi proses hukum itu penting untuk memulihkan kepercayaan publik,” kata Hardjuno.

Ia pun mendorong pemerintah untuk menjadikan momen ini sebagai pemicu untuk memperkuat audit kepatuhan pajak terhadap seluruh korporasi besar, serta meningkatkan sinergi antara Kejagung dan otoritas perpajakan.

Pengawasan pascakrisis, menurutnya, harus menjadi prioritas utama, mengingat negara telah menggelontorkan biaya gigantis untuk menyelamatkan sektor keuangan melalui obligasi rekap.

Hardjuno menyatakan akan terus mengawal perkembangan penyidikan Kejagung dalam kasus ini. Ia menekankan bahwa ke depan, akuntabilitas harus menjadi kata kunci dalam setiap interaksi keuangan antara negara dan korporasi.

"Ke depan, relasi keuangan negara–korporasi, baik dalam konteks pajak maupun warisan kebijakan pasca-krisis, harus dijalankan secara lebih akuntabel,” ujarnya.

Load More