Suara.com - Polusi udara di Jakarta menjadi perhatian serius karena terjadi setiap hari. Sayangnya, kewaspadaan masyarakat masih rendah terkait dampak polusi, dan terus beraktivitas di luar ruangan setiap harinya.
Hasil penelitian Health Collaborative Center (HCC) menemukan mayoritas masyarakat belum paham dampak polusi udara Jakarta berbahaya untuk kesehatan. Padahal kondisi ini bisa memicu infeksi paru dan cikal bakal anak punya penyakit alergi seumur hidup.
Fakta ini terekam melalui kuesioner yang melibatkan 1843 warga Jakarta, dengan cara mengukur indeks health belief atau pemahaman warga Jakarta pada isu polusi udara yang ramai jadi perbincangan. Mirisnya, mayoritas 65% atau 7 dari 10 orang warga Jakarta belum ingin melindungi diri dari dampak polusi udara.
“Padahal fakta yang terjadi adalah polusi udara di Jakarta itu benar dan sudah keadaan genting, dampak kesehatannya pasti ada, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tapi sayangnya secara konsep pemaknaan atau health belief model, warga Jakarta belum memaknai ini sebagai bahaya sehingga belum secara mandiri ingin melindungi diri," ujar Peneliti Utama HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK di Kebayoran, Jakarta Selatan, Kamis (24/8/2023).
Penelitian dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2,28 ini juga merekam jika warga Jakarta sangat tahu ada polusi udara di Jakarta, tetapi mereka tidak bisa melihat, tidak merasakan dampak buruk dan belum melihat bukti nyata bahwa polusi berdampak buruk bagi kesehatan warga.
Tak main-main jumlah warga Jakarta yang mengaku belum melihat dampak langsung polusi udara diakui 32 persen atau 3 dari 10 orang.
Dokter yang juga chief-editor The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) ini menjelaskan, jika polusi udara bisa memicu stres oksidatif yang bisa menurunkan kekebalan tubuh.
Stres oksidatif adalah kondisi yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh.
Lantaran terkait dengan sistem kekebalan tubuh, maka orang lanjut usia (lansia) berisiko mengalami perburukan lebih besar karena sistem kekebalan tubuh sudah menurun akibat penyakit penyerta atau komorbiditas yang dideritanya. Dampaknya, penyakit lansia akan mudah komplikasi atau memburuk.
Baca Juga: Pro Kontra Wacana Ganjil Genap 24 Jam untuk Tekan Polusi Udara: Dianggap Bukan Solusi
Ada juga anak di bawah 5 tahun (balita) sistem kekebalan tubuhnya belum terbentuk sempurna. Hasilnya karena sejak awal sudah memiliki rekam genetik demam, batuk dan sesak napas karena polusi udara, maka bisa jadi cikal bakal anak punya alergi hingga dewasa.
"Genetik di usia anak itu kalau udah rusak susah balik lagi. 68 persen penyakit alergi saat dewasa ditentukan pada usia balita. Penyakit alergi itu rekam genetiknya nempel terus di kromosom. Contoh alergis intoleransi laktosa, ada dermatitis alergi di kulit, itu alergi sampai tua akan kumat terus," jelas Dr. Ray.
Dr. Ray juga berharap semakin banyak edukasi dan publikasi dampak langsung polusi udara yang sudah terjadi, agar 'mata' warga Jakarta 'terbuka' jika polusi udara ini nyata, berbahaya dan saat ini berada di tahap mengkhawatirkan.
"Terutama mengerti bahwa paparan gas beracun dan partikel halus dari polusi udara bisa sangat mudah terjadi, dan memberi efek negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan ini informasi penting
yang harus disampaikan tidak hanya lewat media tetapi juga komunikasi berbasis komunitas," papar Dr. Ray.
Di sisi lain, dokter yang juga aktif mengajar di Program Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) berharap pemerintah bisa lebih intensif dan masif harus memberikan perlindungan kepada warga Jabodetabek yang terdampak polusi udara.
"Untuk warga Jakarta yang tetap harus bekerja, mitigasi di lingkungan kerja serta perlindungan pekerja yang perlu akses transportasi akan meningkatkan potensi paparan polutan. Jadi perlindungan pekerja harus segera dan mendesak, pemerintah perlu melanjutkan strategi menurunkan kadar polusi udara Jakarta, baik dari emisi kendaraan bermotor maupun aktivitas industri," tutup Dr. Ray.
Berita Terkait
Terpopuler
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
- Ditunjuk Jadi Ahli, Roy Suryo Siapkan Data Akun Fufufafa Dukung Pemakzulan Gibran
Pilihan
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Kritik Menkeu Purbaya: Bank Untung Gede Dengan Kasih Kredit di Tempat yang Aman
-
PSSI Diam-diam Kirim Tim ke Arab Saudi: Cegah Trik Licik Jelang Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Pemain Eropa Telat Gabung, Persiapan Timnas Indonesia Terancam Kacau Jelang Hadapi Arab Saudi
-
STY Sudah Peringati Kluivert, Timnas Indonesia Bisa 'Dihukum' Arab Saudi karena Ini
Terkini
-
Kabur dari Jakarta: Mengapa Kota Mandiri di Pinggiran Kini Jadi Rebutan Kaum Urban?
-
3 Rekomendasi Masker Rambut Andalan agar Lebih Sehat: dari Tipis Jadi Tebal!
-
Solidaritas Pasca-Banjir Bali, Merek Lokal Ini Ulurkan Bantuan untuk Ringankan Duka Warga
-
Peran Ahmad Assegaf Suami Tasya Farasya di MOP Beauty, Duduki Jabatan Vital
-
Cara Membersihkan Baju Putih Kelunturan, Modal Bahan Sederhana di Rumah
-
5 Rekomendasi Krim Malam Terbaik Mengandung Niacinamide, Bangun Tidur Kulit Lebih Cerah!
-
Lifestyle Terpopuler: Alasan Tasya Farasya Cerai, Skill Bahasa Inggris Menteri Pariwisata Digunjing
-
Prompt Gemini AI untuk Edit Foto Masa Kecil dengan Sekarang, Hasil Natural Bikin Mewek
-
Beda Kekayaan Widiyanti Putri Wardhana dan Ni Luh Puspa, Menteri vs Wakil Menteri Pariwisata
-
Tolak Penawaran Jadi Menpora, Begini Rekam Jejak Karir Raffi Ahmad Sedari Muda