Lifestyle / Komunitas
Selasa, 18 November 2025 | 09:03 WIB
Acara pembukaan International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 di Discovery Ancol, Jakarta Utara, Senin (17/11/2025).
Baca 10 detik
  • International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 diadakan di Jakarta Utara, dihadiri peserta dari 23 negara guna mendorong praktik pertanian padi rendah karbon di Asia.
  • Sektor padi memerlukan transformasi mendesak karena tantangan iklim, fokus pada peningkatan pendapatan petani sekaligus manfaat lingkungan sebagai kunci keberhasilan bersama.
  • Indonesia menegaskan swasembada beras tahun ini, sementara Uni Eropa menekankan penguatan koperasi untuk menekan biaya dan meningkatkan daya tawar petani secara kolektif.

Suara.com - International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 digelar di Discovery Ancol, Jakarta Utara. Acara ini merupakan pertemuan global penting, dihadiri lebih dari 300 peserta dari 23 negara di enam benua.

Acara ini memanfaatkan momentum Hari Petani Nasional yang jatuh pada 24 September untuk memperkuat kolaborasi, meningkatkan wawasan pasar, dan mendorong adopsi praktik pertanian padi rendah karbon di Indonesia dan Asia.

Adapun ISRF 2025 merupakan hasil kolaborasi antara Preferred by Nature, Sustainable Rice Platform, Rikolto, International Rice Research Institution (IRRI), dan World Bank Group. Kegiatan ini juga didukung inisiatif program Low Carbon Rice dan EU Switch Asia, serta organisasi seperti Perpadi, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan disponsori oleh String.

Ya, sektor padi kini tengah berada di persimpangan jalan. Perubahan iklim pun menantang kondisi ini. Peter Filber, Direktur Eksekutif Preferred by Nature, menyoroti perlunya transformasi mendesak di sektor padi. Ia menyoroti fakta sawah menghasilkan gas rumah kaca (GRK) lebih banyak daripada seluruh sektor penerbangan, sekaligus menjadi konsumen air irigasi terbesar di dunia.

Kendati demikian, imbuh Peter Filber, hal ini juga menawarkan peluang besar untuk perubahan positif, mengingat pengetahuan untuk mengurangi emisi dan menghemat sumber daya sudah tersedia.

“Kunci keberhasilan adalah membangun jembatan yang menghubungkan peningkatan pendapatan petani, lanskap yang lebih sehat, dan manfaat iklim yang nyata. Ia menegaskan bahwa keberlanjutan harus dibangun bersama petani, sebagai penjaga lanskap, bukan tanpa melibatkan mereka,” ujar Peter Filber.

Terkait hal ini, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menegaskan kembali komitmen kuat mereka terhadap ketahanan pangan dan keberlanjutan. Menteri Koordinator Urusan Pangan, Zulkifli Hasan, menyampaikan Indonesia telah mencapai swasembada beras. Bahkan, dengan perkiraan surplus sekitar 4 juta ton tahun ini, Indonesia menghilangkan kebutuhan impor.

Selain karbohidrat, pemerintah juga mendorong kedaulatan pangan protein, termasuk pembangunan ternak dan unggas besar-besaran di 20 provinsi, untuk mendukung program makanan bergizi gratis bagi 82,9 juta penerima tahun depan.

“Kedaulatan pangan tidak boleh ditawar. Berapa pun ongkosnya, kita harus lakukan. Ini adalah perintah Presiden Prabowo yang harus dilaksanakan, dan memerlukan kerja sama global dalam hal teknologi baru, mekanisasi, dan ilmu pengetahuan,” ujar Zulkifli Hasan.

Di sisi lain, Duta Besar Uni Eropa (UE), Denis Chaibi, menyoroti peran program Switch Asia. Sejak 2007, program ini menginvestasikan lebih dari 300 juta Euro atau setara dengan sekitar Rp 5,8 triliun untuk produksi dan konsumsi berkelanjutan di Asia.

Chaibi mengatakan penguatan koperasi menjadi salah satu elemen yang sangat penting dalam menekan biaya produksi. Tidak cuma itu, tambah Chaibi, penguatan tersebut juga sekaligus memperkuat daya tawar petani di rantai nilai pangan.

“Koperasi memberi petani posisi tawar lebih kuat karena mereka bisa membeli benih, mengatur asuransi, dan menekan biaya secara kolektif,” kata Chaibi.

Duta Besar Uni Eropa (UE), Denis Chaibi, saat memberikan sambutan dalam pembukaan International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 di Discovery Ancol, Jakarta Utara, Senin (17/11/2025).

UE sebelumnya mendanai Low Carbon Rice Project yang merupakan proyek beras rendah karbon selama empat tahun. Hasilnya yakni peningkatan produktivitas dan efisiensi di tingkat petani maupun penggilingan. Berdasarkan laporan Low Carbon Rice Project 2025, inisiatif itu telah mendukung 67 penggilingan padi kecil beralih dari bahan bakar diesel ke listrik serta membangun kemitraan dengan lebih dari 2.650 petani di area 1.037 hektare menuju produksi beras berkelanjutan.

Proyek tersebut merupakan inisiatif yang didanai Uni Eropa melalui SWITCH-Asia Grants Programme dan diimplementasikan oleh Preferred by Nature bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Perpadi.

Uni Eropa kini berfokus pada peningkatan skala model-model sukses menjadi investasi skala besar yang memperkuat rantai nilai regional. Kemitraan ini didorong oleh kepentingan bersama dalam pembangunan ekonomi dan lingkungan, serta adanya Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang baru disepakati.

Load More