Otomotif / Autoseleb
Kamis, 07 Mei 2020 | 23:20 WIB
Plakat mengenang Roland Ratzenberger yang dipasang di Autodromo Enzo e Dino Ferrari, Imola, Bologna, Italia [Shutterstock].

Hal terberat bagi David Brabham bila mengingat pekan penuh tragedi di F1 GP San Marino 1994 tentu saja kepergian rekan satu timnya, Roland Ratzenberger. Kemudian Rubens Barrichello (Jordan), sebagai driver Brasil generasi penerus Ayrton Senna, yang mengalami patah hidung dan lengan saat jetnya menghantam wall di Variante Bassa.

Dan saat race day, tabrakan pun sudah terjadi sejak awal. Masih di grid, jet darat Pedro Lamy (Lotus) berputar keluar dari trek usai menabrak buritan tunggangan JJ Lehto (Benetton). Safety car meluncur, dan dilakukan restart. Lantas di lap enam, petaka fatal terjadi. Bendera merah kembali dikibarkan.

"Semua tunggangan berhenti sekali lagi. Saya hanya bisa berpikir, 'Jangan, jangan terjadi lagi'. Dan kita semua tersadar ... Korbannya adalah Senna," kenang David Brabham.

"Saya tidak tahu kabar tentangnya, sampai malam saat menghidupkan Teletext. Saat itulah saya menangis, tak kuasa menahan emosi sepanjang akhir pekan yang berat," ujar pembalap yang memenangkan balap ketahanan Le Mans 24 Jam pada 2009 bersama Alexander Wurtz (Austria), dan Marc Gene (Spanyol) menggunakan Peugeot 908 HDi-FAP.

Setelah kejadian fatal atas Roland Ratzenberger dan Ayrton Senna, unsur safety di pentas F1 terus diperkuat. Hingga tiada kecelakaan fatal, sampai tragedi Jules Bianchi (Marussia) pada 2014. Serta Anthoine Hubert di pentas Formula Two (F2) pada 2019.

Beristirahatlah dalam damai, Roland Ratzenberger. Kau tidak terlupakan!

Load More