Suara.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengklarifikasi soal usulan Dewan Media Sosial (DMS) yang dinilai mengancam kebebasan berpendapat.
Wakil Menteri Kominfo Nazar Patria menyebut kalau Dewan Media Sosial adalah salah satu konsen UNESCO--badan khusus PBB--terhadap misinformasi dan disinformasi yang ada di platform media sosial.
"Dewan Media Sosial ini bukan sesuatu yang baru. Jadi sudah dua tahun belakangan ini menjadi semacam diskursus," kata Nezar saat ditemui di Universitas Paramadina, Jumat (31/5/2024).
Wamenkominfo mengungkapkan kalau wacana Dewan Media Sosial tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga ada di Irlandia.
Menurut Nezar, Dewan Media Sosial ini nantinya akan merumuskan bagaimana mengatur lalu lintar informasi di media sosial agar patuh dengan standar-standar etika di Indonesia.
Ia juga memastikan kalau Dewan Media Sosial ini tidak memiliki wewenang untuk menutup ataupun memblokir platform media sosial.
"Jadi lebih kepada rekomendasi-rekomendasi etik terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penyebaran informasi," imbuhnya.
"Jadi Dewan media sosial ini salah satu usulan dari masyarakat sipil juga agar dibentuk satu badan yang menjamin information integrity buat masyarakat luas," katanya.
Nezar menjelaskan, Dewan Media Sosial ini mirip seperti Dewan Pers. Bedanya, Dewan Pers diisi oleh anggota yang berasal dari media penerbit. Sementara Dewan Media Sosial ini tidak berisi perwakilan platform.
Baca Juga: Dewan Media Sosial Usulan Kominfo Bisa Jadi Alat Represi Digital Baru
Nezar kembali menegaskan Dewan Media Sosial adalah sebuah forum yang membantu literasi digital. Fungsi lainnya, lembaga ni bakal menjaga integritas informasi demi menjamin media sosial bebas dari misinformasi dan disinformasi.
"Enggak ada (sanksi seperti blokir atau penutupan sosmed)," tegasnya.
Lebih lanjut Nezar juga belum menargetkan kapan pembentukan Dewan Media Sosial. Saat ini Kominfo masih berdiskusi dengan UNESCO untuk melihat praktiknya di negara lain.
"Nanti kalau stakeholder bilang, 'Kita butuh segera membentuk dewan media sosial', pemerintah akan memfasilitasi," pungkasnya.
Sebelumnya Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengomentari soal usulan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi terkait pembentukan Dewan Media Sosial (DMS).
Menteri Kominfo sendiri menyebut kalau pembentukan DMS ini akan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang ada di media sosial layaknya dewan pers.
"SAFEnet menilai bahwa pembahasan seputar DMS harus dilakukan secara berhati-hati," kata SAFEnet dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Jumat (31/5/2024).
SAFEnet beralasan, dilemparkannya kembali gagasan ini setelah revisi UU ITE membuat ide pembentukan DMS saat ini sudah kehilangan konteks.
Mereka mengakui kalau SAFEnet memang telah mengusulkan pembentukan DMS ke Kominfo tahun lalu, saat proses pembahasan revisi kedua UU ITE.
Kala itu, SAFEnet mengusulkan DMS sebagai lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan dan berfungsi menggantikan peran Kominfo dalam melakukan moderasi konten.
"Sebab, selama ini wewenang Kominfo sebagai representasi pemerintah sangat besar dalam memoderasi konten," lanjutnya.
Pembentukan lembaga ini diusulkan untuk masuk ke dalam substansi revisi kedua UU ITE.
Secara spesifik, SAFEnet mengusulkan penambahan pasal 40 ayat 2(c) yang berbunyi: “….Pemerintah berwenang memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut yang berkategori konten berbahaya atas dasar rekomendasi dari Dewan Media Sosial.
”Namun nyatanya, hingga revisi kedua UU ITE disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2024, pasal-pasal tersebut tidak diakomodir baik oleh Kominfo maupun DPR RI.
"Hal itu terlihat dari UU ITE terbaru pasca revisi yang justru memenggal substansi dari usulan awal sehingga wewenang moderasi konten sepenuhnya berada di tangan Kominfo sebagai representasi negara," kata SAFEnet.
Mereka melanjutkan, pembentukan DMS harus mengadopsi seluruh prinsip-prinsipnya, terutama prinsip independensi dan prinsip multistakeholderisme.
"Pembentukan DMS seperti yang dirancang oleh Kominfo masih sangat kabur dan justru berpotensi berseberangan dengan prinsip awalnya," ungkapnya.
SAFEnet menilai DMS harus independen, terbebas dari pengaruh pemerintah maupun perusahaan media sosial. Kontrol Kominfo atas DMS akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital.
Sebab di bawah Kominfo, terdapat potensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga DMS dapat dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Hal ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital.
Menurutnya, semangat mempererat dan memperkuat keselamatan dan keamanan publik di ruang digital tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan berbagai pihak dalam pembentukan DMS.
Untuk menghindari kontrol absolut pemerintah, DMS harus diisi dengan perwakilan berbagai pihak, sebut saja akademisi, pembuat konten, masyarakat sipil, pekerja kreatif, jurnalis, kelompok rentan dan minoritas serta berbagai pihak lainnya.
Tentu hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari tujuan DMS supaya tidak menjadi alat penyensoran bagi kebebasan berekspresi masyarakat sipil.
Alasan ketiga, DMS tidak boleh melakukan pengawasan. Hal yang paling mengkhawatirkan versi SAFEnet adalah Kominfo memaknai DMS sebagai pengawas konten-konten di media sosial.
SAFEnet berpandangan, praktik surveillance (pengawasan) tidak dapat dibenarkan karena dapat memicu swasensor oleh perusahaan maupun pengguna media sosial.
Oleh karena itu, DMS hanya boleh memutuskan sengketa antara pengguna dengan perusahaan media sosial atas kerugian-kerugian yang dialaminya.
SAFEnet menegaskan, DMS hanya boleh menilai dan mengawasi aduan terhadap praktik moderasi konten yang dilakukan oleh perusahaan media sosial, bukan melakukan pemantauan dan pengawasan aktif.
Semua penilaian ini harus dilakukan dengan menggunakan standar-standar HAM internasional dan memperhatikan konteks lokal sebagai tolok ukurnya.
Pembatasan atau takedown konten hanya dapat dilakukan setelah melakukan three part-test, setelah mempertimbangkan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas, serta memiliki tujuan yang jelas.
Berdasarkan pertimbangan di atas, SAFEnet mendesak Kementerian Kominfo untuk:
- Meninjau ulang rencana pembentukan dewan media sosial yang berkedudukan di bawah badan eksekutif
- Melibatkan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia dalam proses perencanaan dewan media sosial
Berita Terkait
-
Dewan Media Sosial Usulan Kominfo Bisa Jadi Alat Represi Digital Baru
-
Trending di Media Sosial, Siapa Pencetus Slogan "All Eyes on Rafah"?
-
Apa Itu Lup? Bahasa Gaul yang Sedang Viral di Media Sosial
-
Kominfo Lepas 3 Spektrum Frekuensi Baru di 2025, Bisa Buat Internet 5G
-
Kominfo Mau Bentuk Dewan Media Sosial, Libatkan Sipil hingga Akademisi
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
Terkini
-
Makin Mudah, Final Fantasy 7 Remake Hadirkan 'Easy Mode' di Switch 2 serta Konsol
-
HP Murah Vivo Y21d Lolos Sertifikasi di Indonesia, Fitur Tahan Banting
-
NVIDIA Suntik Puluhan Triliun Rupiah, Harga Saham Intel Langsung Meroket
-
Redmi Pad 2 Pro: Bocoran Spesifikasi Gahar, Baterai 12.000 mAh, Siap Meluncur Minggu Depan?
-
Tencent Tuduh Sony Memonopoli Game usai Digugat, Sebut Horizon Tidak Orisinal
-
Telkomsel Pertajam Kepiawaian Generasi Muda Manfaatkan Teknologi AI lewat IndonesiaNEXT Summit 2025
-
55 Kode Redeem FF Terbaru 19 September 2025: Ada Skin Scar, XM8, dan Diamond
-
GoTo Kantongi Rp 4,65 Triliun Siap Ekspansi dan Dorong Pertumbuhan Ekosistem Digital
-
Peluncuran iPhone 17 Picu Penipuan Online di Seluruh Dunia
-
15 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 19 September: Ribuan Gems dan Pemain 111 Menanti