Lifestyle / Komunitas
Minggu, 07 Desember 2025 | 00:47 WIB
potret juri JAFF 2025 (dok. JAFF 2025)
Baca 10 detik
  • Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-20 ditutup, menobatkan film Becoming Human meraih Golden Hanoman Award.
  • Edisi ke-20 JAFF ini menjadi yang terbesar dengan dihadiri lebih dari 30.000 penonton, menayangkan 227 film dari 43 negara.
  • Festival ini menekankan pentingnya dialog keberlanjutan ekosistem film, termasuk isu pengarsipan dan adaptasi terhadap perubahan digital.

Suara.com - Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025 resmi ditutup. Dalam edisi ke-20, JAFF 2025 mengumumkan film Becoming Human karya Polen Ly sebagai peraih Golden Hanoman Award.

Penyerahan Golden Hanoman, penghargaan paling bergengsi di perhelatan JAFF, menandai penutup festival. JAFF yang tidak hanya merayakan pencapaian artistik, tetapi juga menegaskan posisi JAFF sebagai ruang pertemuan, dialog, dan pertumbuhan ekosistem sinema Asia.

Tak main-main, data tahun ini mencatatkan JAFF dihadiri lebih dari 30.000 penonton. Angka ini terus meningkat dari edisi JAFF sebelumnya dan menjadikannya edisi terbesar dan monumental seiring dengan usianya yang mencapai dua dekade.

“Dua dekade JAFF adalah tentang kebersamaan, perayaan, dan saling percaya. Ke depan, tantangannya justru semakin besar, bagaimana kita memikirkan keberlanjutan ekosistem film di tengah perubahan lanskap media dan digital,” ujar Direktur Festival Ifa Isfansyah. 

Dalam kesempatan ini, Ifa Isfansyah menegaskan pentingnya kesehatan ekosistem JAFF. Ia mengatakan bahwa perkembangan platform digital dan perubahan pola konsumsi film menuntut festival untuk terus melakukan peninjauan ulang.

Direktur Festival Ifa Isfansyah di JAFF 2025 (dok. JAFF 2025)

Adapun evaluasi tidak hanya pada format pemrograman, tetapi juga pada peran festival dalam menjaga keberlangsungan para pembuat film. Dan tentu saja, pesan penting yang diserukan saat pembukaan festival beberapa hari lalu, tentang urgensi pengarsipan film. 

“Kita perlu duduk bersama, berbicara lagi, dan memikirkan ulang kebutuhan pertumbuhan ekosistem film kita di masa depan, khususnya pengarsipan film. Sudah ada teman-teman dari festival internasional yang menghubungi kami untuk mulai mengambil langkah, semoga ini menjadi langkah kecil yang berarti bagi perfilman Indonesia dan bahkan Asia,” tambahnya.

Selama delapan hari penyelenggaraannya, JAFF ke-20 sukses menggelar 47 diskusi, forum & public lecture, serta menayangkan 227 film yang ditayangkan dari 43 negara. 27 film di antaranya adalah world premiere dan 87 adalah Indonesian premiere dengan kehadiran pembuat film.

Event ini dihadiri oleh lebih dari 100 media dan didukung oleh 78 partners & collaborators. Dan sesuai dengan komitmen JAFF untuk mendukung talenta baru dan filmmaker perempuan, tahun ini menayangkan film-film dari 34 sutradara debut dan 63 sutradara perempuan. 

Baca Juga: Daftar Film Pemenang JAFF 2025, Tinggal Meninggal Borong Penghargaan

Direktur Festival Ifa Isfansyah bersama Direktur Program Alexander Matius di JAFF 2025 (dok. JAFF 2025)

Direktur Program JAFF, Alexander Matius, menyoroti kuatnya dinamika diskusi dan antusiasme penonton sepanjang festival.

“Banyak diskusi yang diadakan, bahkan ada sesi tanya-jawab bersama pembuat film yang berlangsung hingga dini hari dan diikuti oleh hampir seluruh penonton dengan antusias. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa dan tidak selalu bisa terjadi,” tutur Alexander Matius.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Ajish Dibyo mengatakan, JAFF akan terus berkomitmen untuk terus menjadi festival yang berbasis kerelawanan yang kuat ke depannya. Keterlibatan generasi muda dalam tim penyelenggara menjadi sinyal positif untuk masa depan festival. 

“Regenerasi yang sudah berjalan akan terus kami pertahankan dan itu tanda baik untuk keberlanjutan JAFF. Begitu pula komitmen berkelanjutan terhadap festival ramah lingkungan, termasuk pengelolaan limbah sampah yang tahun ini lebih dari 1.500 kg,” ujar Ajish Dibyo.

Memasuki dekade ketiga, JAFF menegaskan kembali posisinya bukan sekadar sebagai festival pemutaran film, tetapi sebagai ruang diskursus, eksperimen, dan keberlanjutan ekosistem film Asia. Konsistensi, regenerasi, dan keterbukaan pada perubahan menjadi fondasi JAFF untuk menghadapi tantangan sinema di era baru.

Load More