Suara.com - Pascapenetapan hasil rekapitulasi suara dan pemenang pilpres, muncul wacana pembentukan panitia khusus kecurangan pilpres di DPR RI. Bagaimana tanggapan kubu pemenang, Joko Widodo - Jusuf Kalla?
"Untuk apa dibentuk jika tidak ada dampak hukumnya?" kata politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari kepada suara.com, Jumat (25/7/2014).
Eva menegaskan lembaga DPR bukan penyelenggara pemilu. Legislatif, katanya, hanya berfungsi untuk pengawasan.
"Tidak ada hak untuk intervensi hukum. Sepatutnya dPR menghormati proses hukum karena kasus sudah di Mahkamah Konstitusi," kata Eva.
Eva mengatakan ragu pansus tersebut bisa terbentuk.
"Pasti tidak didukung karena alasannya lemah. Kedua, waktunya sempit," ujar Eva.
Ditanya tentang motif dimunculkannya wacana pansus pilpres, Eva menilai hanya sekedar untuk meramaikan suasana saja.
"Noisy," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Khatibul Umam Wiranu, sepakat pembentukan pansus pilpres.
“Saya sangat mendukung dibentuknya Pansus Pilpres atas dugaan kecurangan dan tidak fair KPU dengan dana yang kita kasih hingga triliunan rupiah,” kata Khatibul Umam.
Ia menyebutkan dari temuan-temuan Komisi II DPR RI, ada sejumlah peraturan KPU yang melanggar aturan.
Bahkan, kata politisi Demokrat itu, sebagian besar dari rekomendasi Bawaslu tidak ditindaklanjuti oleh KPUD maupun KPU Pusat.
“Juga ada dalam UU yang menyatakan bahwa rekapitulasi oleh KPU dilaksanakan 1 bulan setelah pencoblosan pilpres. Jadi sudah wajar KPU menunda pengumuman hasil rekapitulasi karena belum sampai sebulan. Ada peraturan KPU yang patut disalahkan dan kita tak boleh diam,” kata Khatibul.
KPU menetapkan hasil pilpres pada 22 Juli 2014 malam. Suara yang diraih Jokowi – JK sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari suara sah secara nasional. Sedangkan kompetitor mereka, pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa hanya meraih 62.576.444 suara atau 46,85 persen dari suara sah nasional.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO