Suara.com - Lebih dari 29 tahun Indonesia aktif dalam upaya mitigasi emisi GRK yang menjadi penyebab peningkatan suhu atmosfer secara global, pemicu krisis iklim. Dimulai dengan perjanjian yang tertuang dalam Protokol Kyoto (2005), kemudian kini dengan Perjanjian Paris (2015) bermaksud mencegah agar pada tahun 2100 suhu atmosfer global tidak naik lebih dari 1,5oC.
Upaya ini dilakukan melalui penerapan berbagai mitigasi dan penjerapan emisi GRK dari sektor pemanfaatan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan hutan (LULUCF), sector proses industry dan pemanfaatan produk (IPPU ), sector energi, sector limbah, dan sector pertanian.
Emisi transportasi sebagai bagian dari emisi sektor energi memberikan sumbangan GRK sekitar 27% (global) dan sekitar 23% (nasional). Selain emisi GRK, transportasi terutama kendaraan bermotor juga berkontribusi pada emisi pencemaran udara yang sudah menjadi masalah kronis di berbagai kota besar di Indonesia; berupa gangguan kenyamanan, kesehatan masyarakat dan keselamatan lingkungan hidup.
Masalah kronis pencemaran udara ini mengharuskan warga DKI Jakarta membayar biaya medis Rp 51,2 T (KPBB, 2016) atau meningkat dari laporan sebelumnya sebesar Rp 38,5 triliun (KLH, 2010).
Untuk itu perlu dicari solusi penurunan emisi kendaraan bermotor terpadu, sehingga memberikan makna bagi pihak-pihak –khususnya pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan pembangunan nasional, terutama Presiden/Wakil Presiden 2024-2029 bersama tim kerjanya– dalam berkontribusi untuk percepatan penurunan emisi di sektor transportasi sejalan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Penurunan emisi sub-sector transportasi jalan raya dengan elektrifikasi melalui adopsi kendaraan listrik (BEV/Battery Electric Vehicle atau KBLBB/Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery) di Indonesia akan mendatangkan economic benefit Rp 9.603 triliun pada 2030 yang berasal dari penghematan BBM, peningkatan kesehatan dan produktivitas kerja masyarakat (UNEP, 2020).
Dengan demikian, sebuah keharusan adanya grand design Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025 - 2029 guna membayar hutang pengendalian emisi kendaraan dengan adopsi net-ZEV (net-Zero Emission Vehicle) atau kendaraan beremisi nol bersih berupa KBLBB .
Workshop Nasional tentang Grand Design Net Zero Emission Vehicle pada RPJMN 2025-2029 digelar oleh KPBB dan ClimateWorks Foundation pada 8 November 2024 Hotel Aryaduta Jakarta dengan tujuan memformulasikan strategi membayar hutang mitigasi emisi kendaraan seperti disebutkan di atas.
Workshop ini dibuka oleh M Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Konektivitas Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilaya dan dihadir 133 orang perwakilan dari stakeholder berbagai sector di pemerintahan (Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, KLH, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, BRIN, industry otomotif, pabrikan kendaraan listrik, produsen BBM, PLN, operator public transport, organisasi think tank, organisasi masyarakat sipil, komunitas, dll).
Baca Juga: Toyota Terus Dukung Upaya Pengurangan Emisi Lewat Produk dan Proses Produksi Ramah Lingkungan
Pada kesempatan tersebut, Ahmad Safrudin dari KPBB selaku penyelenggara workshop menyampaikan, adanya ketertinggalan mitigasi GRK kendaraan bermotor di Indonesia. Ketertinggalan tersebut antara lain:
- Standard Carbon kendaraan tidak diatur, padahal standard ini akan menjadi acuan bagi produsen kendaraan bermotor dalam memproduksi dan memasarkan kendaraannya di Indoensia;
- Agenda mitigasi GRK kendaraan bermotor dengan elektrifikasi tertunda, misalnya adopsi bus listrik di Jakarta yang seharusnya sudah mencapai 2700 unit pada 2024 ini, baru terealisasi 100 unit, apalagi kota-kota lain seperti Denpasar, Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, Bandung, Medan, Makassar, dll yang sama sekali tidak ada perkembangan terkait elektrifikasi angkutan umumya karena terbentur pendanaan;
- BBM berkualitas rendah (seperti High Sulfur Fuel) dengan faktor emisi Carbon tinggi masih diedarkan, misalnya Pertalite 90, BBM dengan kadar belerang di atas 200 ppm tersebut memiliki factor emisi yang tinggi dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada kendaraan berstandard Euro4/IV, demikian juga BioSolar dan DEXlite.
“Guna mengejar ketertinggalan mitigasi emisi Carbon kendaraan bermotor, maka RPJMN 2025-2029 harus berdasar grand design dengan amanat penerapan strategi trisula: pertama pelaksaan mitigas GRK untuk menyelamatkan dunia dari krisis iklim; kedua, membangun industri national manufacturing yang mampu menyediaan produk kendaraan bermotor dengan teknologi net-ZEV untuk memitigasi GRK secara efektif; ketiga, menciptakan competitive advantage of nat’l auto-industry atas berkah sumber daya alam yang dibutuhkan sebagai raw material industri Net Zero Emission Vehicle (net-ZEV) secara global dan kepemilikan prototype Battery Electric Vehicle (BEV) atau Kendaraan BErmotor Listrik Berbasis Battery (KBLBB) karya anak bangsa”.
M Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Konektivitas - Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah saat membuka Workshop menyampaikan, “net-ZEV adalah kendaraan dengan level emisi yg mendukung terwujudnya Vehicle Carbon Neutral. Yaitu situasi terjadinya keseimbangan antara terjadinya emisi Carbon yg dikeluarkan kendaraan bermotor kita dengan kemampuan kita dalam memitigasinya”.
M Rachmat Kaimuddin menjelaskan bahwa kini sedang proses adjustment RPJMN 2025-2029 dengan visi Presiden, termasuk dalam konteks adopsi net-ZEV ini dalam agenda pembangunan 5 tahun ke depan.
M Rachmat Kaimuddin juga menegaskan, bahwa agenda net-ZEV harus mampu menjadi persemaian pembangunan industri otomotif nasional dengan fokus memproduksi kendaraan beremisi nol bersih. Dengan demikian mitigasi emisi kendaraan bermotor juga memiliki multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Ratna Kartikasari dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup menyampaikan, “Sejak awal 2023 Kementerian Lingkungan Hidup sedang dalam proses penyusunan Standard Carbon Kendaraan, dengan tujuan kendaraan bermotor yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia memiliki tingkat emisi Carbon yang dapat dikendalikan”.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Bedak Viva Terbaik untuk Tutupi Flek Hitam, Harga Mulai Rp20 Ribuan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- Mulai Hari Ini! Sembako dan Minyak Goreng Diskon hingga 25 Persen di Super Indo
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas Sekelas Brio untuk Keluarga Kecil
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini di Pegadaian Kompak Stagnan, Tapi Antam Masih Belum Tersedia
-
Jokowi Takziah Wafatnya PB XIII, Ungkap Pesan Ini untuk Keluarga
-
Nasib Sial Mees Hilgers: Dihukum Tak Main, Kini Cedera Parah dan Absen Panjang
-
5 HP dengan Kamera Beresolusi Tinggi Paling Murah, Foto Jernih Minimal 50 MP
-
Terungkap! Ini Lokasi Pemakaman Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi
Terkini
-
7 Cek Poin Krusial pada Motor Setelah Touring Jauh untuk Bikers Sejati, Jangan Disepelekan
-
Mitsubishi Destinator Pakai BBM Apa? Pertalite Haram, Ini yang Cocok
-
5 Mobil Alternatif Avanza untuk Kamu yang Bosan Jadi 'Sejuta Umat', Lebih Gagah dan Super Nyaman
-
Apa yang Dimaksud dengan Brebet? Fenomena pada Mesin Motor yang Diduga karena Isi Pertalite
-
Terpopuler: Pesona Lancer Evo 9 MR, Harga Suzuki Truntung Bikin Ngiler
-
7 Pilihan Motor Roda 3 untuk Usaha: Harga Mulai Rp 15 Jutaan, Daya Angkut Besar
-
Cocok untuk Koleksi dan Bahan Modifikasi Anak Muda: Berapa Harga Suzuki Truntung?
-
Punya Duit Miliaran Nganggur? Intip Harga dan Spesifikasi Mitsubishi Evo 9 MR
-
Lagi Cari Motor Touring untuk Libur Akhir Tahun? Intip Harga Motor Honda per November 2025
-
7 Sedan Bekas Murah di Bawah Rp49 Juta yang Elegan dan Tangguh