Suara.com - Studi Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa sejak 2010 pelaku kekerasan terhadap Orang Asli Papua atau OAP di Papua didominasi oleh KKB, bukan lagi aparat keamanan. Berikut hasil studi GTB UGM:
Sejak terintegrasi dengan Indonesia pada 1969, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekerasan di tanah Papua tak kunjung usai.
Beberapa pihak menilai aparat militer dan kepolisian sebagai dalang utama dari tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut. Mereka mencap Indonesia sebagai negara yang kejam, karena tindakan pemerintah yang membiarkan aksi kekerasan yang merenggut hak-hak Orang Asli Papua (OAP).
Namun yang menarik, hasil terbaru riset kami dari Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) menemukan bahwa sejak 2010, pelaku kekerasan terhadap OAP terus didominasi oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang merupakan kelompok separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. GTP UGM adalah unit kerja di bawah naungan UGM yang bertugas melakukan penelitian dan kegiatan akademik lainnya tentang Papua.
Riset kami yang berjudul “Tindak Kekerasan di Tanah Papua (Januari 2010 - Maret 2022)” ini juga menyoroti pentingnya pemerintah untuk melakukan introspeksi terhadap pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini dalam menyelesaikan masalah di Papua.
KKB pelaku utama kekerasan di Papua
Riset kami susun berdasarkan data di media massa dan informan kunci dengan menyoroti beberapa hal, mulai dari identifikasi pelaku, korban, motif, hingga wilayah terdampak kekerasan yang mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Kami temukan kekerasan di Papua terjadi akibat konflik vertikal – antara KKB dan TNI maupun Polri – dan konflik horizontal – melibatkan OAP, non-OAP, hingga antar suku, ras dan marga.
Sebagian besar motif yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan di Papua diduga adalah separatisme.
Baca Juga: Pilot SAM Air Langsung Dievakuasi ke Jayapura Usai Diserang OPM di Nduga Papua
Ini berkaitan erat dengan faktor historis di mana ada pihak-pihak yang ingin memperjuangkan kemerdekaan Papua. Sementara itu, situasi politik, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), dan balas dendam juga turut memperkeruh keadaan.
Setidaknya ada enam kabupaten yang memiliki kondisi gangguan keamanan yang tergolong tinggi, antara lain Kabupaten Intan Jaya (55 kasus), Kabupaten Mimika (50 kasus), Kabupaten Puncak (43 kasus), Kabupaten Puncak Jaya (37 kasus), dan Kabupaten Yahukimo (15 kasus).
Hasil riset menunjukkan bahwa secara konsisten, KKB menjadi aktor utama dalam setiap kekerasan yang terjadi. Jumlah kasusnya bahkan meningkat pesat dalam 6 tahun terakhir (2016-2021).
KKB kerap melakukan provokasi, bahkan penyerangan ke pos-pos aparat militer dan kepolisian. Disaat bersamaan, OAP maupun non-OAP tak luput dari teror, terlebih menjadi target kekerasan.
Seorang informan dari Ilaga, Kabupaten Puncak, mengatakan:
“Kondisi di Ilaga kurang kondusif karena gangguan keamanan KKB. Sejak 2019, KKB tidak segan melukai, bahkan menghilangkan nyawa TNI/Polri dan warga sipil. Perusakan dan pembakaran fasilitas publik dan permukiman penduduk membuat masyarakat resah.”
Salah satu faktor yang membuat KKB tetap eksis adalah sulitnya mengidentifikasi keberadaan mereka, terutama ketika mereka berbaur dengan masyarakat. Kondisi ini membuat mereka kerap tak terjamah penegak hukum, sehingga sulit dijatuhi hukuman.
Berdasarkan laporan riset kami, terdapat 348 kasus konflik di Papua terjadi dalam 11 tahun terakhir yang sedikitnya memakan 2.118 korban. Sebanyak 1.654 jiwa mengalami luka-luka, sementara 464 lainnya meninggal dunia. Angka riil korban jiwa diyakini jauh lebih besar lagi.
Riset kami juga menunjukkan bahwa warga sipil, baik Orang Asli Papua (OAP) maupun non-OAP, menjadi pihak yang paling dirugikan.
Dari 1.654 korban luka, 87% di antaranya (1.433 korban) merupakan warga sipil. Sementara, warga sipil yang meninggal dunia ada 320 orang (dari total 464 korban jiwa).
Selain menyebabkan korban jiwa, gangguan keamanan mengakibatkan masyarakat mengalami trauma dan ketakutan berkepanjangan. Ancaman keselamatan dirasakan segenap masyarakat dari pemuka agama, tetua adat, aparat pemerintah, guru, dokter, perawat, pengusaha, hingga masyarakat umum.
Peran pemerintah dalam siklus kekerasan
Dua hal yang menjadi persamaan keenam kabupaten tersebut di atas adalah letaknya di kawasan pegunungan Papua dan memiliki sumber daya alam berlimpah. Dengan kata lain, wilayah tersebut menjadi arena sentral konflik ekonomi-politik dan seringkali terjadi pertarungan ideologis melalui kekerasan fisik.
Daerah-daerah lainnya tetap memiliki potensi kekerasan fisik, tapi cenderung lebih banyak berkonflik di level pemikiran atau wacana, seperti pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak dan Fakfak.
Hasil riset kami memang menunjukkan bahwa KKB adalah penyebab utama kekerasan di Papua. Namun, ada satu titik di mana kita juga perlu menyadari bahwa pemerintah juga tidak sepenuhnya benar. Hal paling nyata dan terjadi secara berulang adalah terkait jual-beli senjata dan amunisi milik TNI atau Polri kepada KKB.
Kita harus melihat segala perspektif dengan lebih adil dalam memandang siapa benar dan salah. Kekerasan dalam bentuk apapun tak dapat dibenarkan, baik dilakukan negara melalui TNI atau Polri, maupun KKB.
KKB di seputar dinamika politik bangsa
Salah satu yang kita bisa lakukan adalah dengan membangun pemahaman terhadap keberadaan KKB dalam politik di tanah Papua.
Sejarah KKB adalah sejarah tentang dinamika konflik dan pertentangan dengan pemerintah Indonesia. KKB – dahulu bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM) – lahir pada tahun 1960-an yang memiliki misi untuk memisahkan diri dari Indonesia karena mereka menilai pemerintah Indonesia telah merenggut paksa tanah Papua lewat referendum yang direkayasa yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Berawal dari persoalan integrasi Papua ke Indonesia, akhirnya muncul isu marjinalisasi, operasi militer dan pelanggaran HAM hingga kegagalan pembangunan nasional..
Karena belum ada solusi atas permasalahan di tanah Papua hingga saat ini, KKB telah melakukan serangkaian kasus kekerasan dan menyebabkan gangguan keamanan selama puluhan tahun.
Pola kekerasan yang dilakukan juga semakin brutal, seperti pembakaran rumah, tempat usaha, fasilitas publik, dan pesawat terbang. Kemudian, juga terjadi penjarahan, pemerkosaan, penyanderaan, penembakan hingga pembunuhan.
Hal tersebut mendorong pemerintah mengubah statusnya dari “KKB” menjadi “teroris” pada April 2021.
Berbagai organisasi perlindungan HAM seperti KontraS, Setara Institute dan Amnesty International Indonesia menyebut perubahan status tersebut hanya akan memperkeruh keadaan, memicu reaksi internasional, dan menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami Papua.
Upaya meredam kekerasan?
Untuk menyikapi tindakan kekerasan yang meningkat dari KKB, kami menawarkan rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, upaya penegakan hukum adalah keniscayaan bagi KKB. Namun, pemerintah perlu membaca suasana kebatinan masyarakat, termasuk dengan mengupayakan cara-cara yang humanis, serta memastikan tidak adanya praktik jual beli senjata antara aparat militer dan kepolisian dengan KKB.
Kedua, kesejahteraan dan penyediaan hak-hak dasar bagi OAP sebaiknya menjadi prioritas. Tapi tetap harus dibarengi dengan pendekatan keamanan yang semata untuk memastikan keamanan warga sipil di tengah ancaman KKB. Otoritas keamanan di lapangan hendaknya memberi kesempatan pemerintah daerah membangun komunikasi dengan KKB melalui upaya persuasif untuk kembali ke pelukan Indonesia.
Ketiga, negara perlu mendorong terwujudnya dialog yang konstruktif, egaliter dan partisipatif antara Jakarta dan Papua dengan melibatkan unsur agama, adat, perempuan, pemuda hingga kelompok rentan. Ini dilakukan guna menyerap aspirasi OAP dan memulai agenda konsolidasi sosial.
Ketiganya merupakan wujud komitmen politik bersama yang perlu dilaksanakan demi menghentikan kekerasan dan mewujudkan perdamaian serta kesejahteraan di tanah Papua.
Berita Terkait
-
Akhir Pelarian Dugi Telenggen Anggota OPM Penembak Brigpol Joan, Ditangkap saat Asyik Main HP
-
Rombongan Kapolda Papua Tengah Dihujani Tembakan OPM, Kasat Narkoba Nabire Terluka di Kepala!
-
Kontak Senjata di Intan Jaya Pecah! 14 OPM Tewas Ditembak TNI dalam Operasi Pembebasan Sandera
-
Kontak Senjata Pecah di Kiwirok, OPM Bakar Sekolah hingga Dipukul Mundur Aparat!
-
Lagi Anjangsana, Prajurit TNI Justru Gugur Diserang OPM, Senjatanya Dirampas
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 Desember: Klaim Pemutus Rekor 111-115 dan Shards
-
60 Kode Redeem FF Terbaru 14 Desember: Kesempatan Raih Bundle Winterlands dan Diamond
-
Trailer Star Wars Galactic Racer: Hadirkan Trek Gurun Ikonis, Debut Tahun Depan
-
Begini Cara Bikin ChatGPT Wrapped 2025 yang Viral, Sat Set Gampang Banget!
-
5 Tripod Kokoh untuk Bikin Konten, Murah tapi Berkualitas Bebas Getaran
-
5 Rekomendasi Tablet Murah Terbaik 2025 RAM 8GB Cocok untuk Kerja, Kuliah dan Buat Konten
-
56 Kode Redeem FF 13 Desember 2025: Klaim Skin Winterland dan Update Lelang Sultan Global
-
Xiaomi Diduga Kuat Membatalkan Peluncuran Poco X8 dan Poco F8 Reguler, Kok Bisa?
-
20 Kode Redeem FC Mobile 13 Desember 2025: Bocoran Komentator Indonesia Valentino Jebret di Game
-
Monitor Gaming WOLED 27 Inci Terbaru: Desain Nyaris Tanpa Bezel dan 280Hz