Suara.com - Proyek Global Security Initiative (GSI, Inisiatif Keamanan Global) yang digagas oleh Presiden China, Xi Jinping, perlu diwaspadai dan disikapi secara hati hati baik oleh Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara yang lain.
Pernyataan ini disampaikan oleh Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), dalam seminar berjudul “Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara,”.
Selain Johanes, yang juga Dosen asal Universitas Pelita Harapan Jakarta, hadir pula Sofwan Al Bana, Ph.D, pakar Hubungan Internasional asal Universitas Indonesia, Depok. Bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut adalah Muhammad Farid, M. PA., pemerhati Hubungan Internasional dari President University, Cikarang.
Menurut pemaparan Sofwan, GSI yang merupakan proyek keamanan global gagasan RRC ini dilandasi oleh beberapa prinsip utama, yaitu: (a) memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan; (b) menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara; (c) setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Kemudian,(d) memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara; (e) menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog dan konsultasi; dan (f) berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional.
Menurutnya, GSI sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema yang telah berlangsung sejak 2010. China yang dulu menyembunyikan kuku, kini merasa sudah kuat dan mulai menunjukan kuku dan taringnya, bukan untuk menakuti nakuti negara-negara di sekitarnya, tetapi untuk mencegah terjadinya perang. China menyampaikan kepada status quo, AS bahwa kebangkitannya tak terhentikan.
“Bukan berarti China ingin menghabisi kekuatan status quo, tetapi meminta agar ia memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” tuturnya ditulis Senin (8/5/2023).
Johanes menyampaikan catatan tambahan dengan menekankan bahwa GSI juga menekankan penolakan RRC pada “mentalitas Perang Dingin,” unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme. Namun menurut Johanes, prinsip-prinsip China di atas menuai kritik dan dianggap sekedar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional Cina.
“Sebagai contoh, Dr. Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur pada Centre for Security, Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, menganggap China memperlihatkan kemunafikan karena mengajukan prinsip prinsip yang telah mereka langgar sendiri,” tutur Johanes.
Baca Juga: Timnas Argentina Dikabarkan Resmi akan Bertanding dengan Timnas Indonesia
“Rajagopalan merujuk pada konflik yang sering mewarnai sengketa perbatasan antara China dan India sebagai contoh dari tindakan China yang bertentangan dengan prinsip prinsip yang mereka gagas di atas,” lanjut Johanes.
“Contoh lain adalah gagasan menolak ‘mentalitas perang dingin’ dan konfrontasi blok, namun bersikap serupa dengan membangun kemitraan tanpa batas dengan Rusia dan upaya membangun pakta keamanan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik,” jelasnya.
Dalam pandangan Johanes, prilaku China di seputar Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan prilaku nyata China.
Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam satu dasawarsa terakhir. Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China.
“Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS. Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna,” tutur Johanes.
Menurut Johanes, tingkah laku China di atas menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara-negara Asia Tenggara bersikap hati-hati dan waspada terhadap gagasan asal China tersebut. Johanes merujuk pada tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, yang memperlihatkan minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Sunscreen Terbaik Harga di Bawah Rp30 Ribu agar Wajah Cerah Terlindungi
- Siapa Shio yang Paling Hoki di 5 November 2025? Ini Daftar 6 yang Beruntung
- 24 Kode Redeem FC Mobile 4 November: Segera Klaim Hadiah Parallel Pitches, Gems, dan Emote Eksklusif
Pilihan
-
6 Kasus Sengketa Tanah Paling Menyita Perhatian di Makassar Sepanjang 2025
-
6 HP Memori 128 GB Paling Murah Terbaru 2025 yang Cocok untuk Segala Kebutuhan
-
4 Rekomendasi Tablet RAM 8 GB Paling Murah, Multitasking Lancar Bisa Gantikan Laptop
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
Terkini
-
Pemerintah Akui Kesejahteraan Petani Dibanding Nelayan-Peternak Masih Jomplang
-
Menkeu Sebut Investasi Reksadana Bisa Bikin Cepat Kaya, Begini Panduannya untuk Pemula
-
Tantangan Sektor Pangan Kian Kompleks, Dirut PT Pupuk Indonesia: Inovasi Jadi Kunci
-
Harga Pupuk Subsidi Turun, Zulhas: Pupuk Indonesia Bisa Bangun Satu Pabrik Setiap Tahun
-
Rupiah Akhirnya Perkasa Hari Ini Setelah 3 Hari Meloyo
-
Pabrik New Ethylene Project Diresmikan, Bahlil : Kita Tak Perlu Lagi Impor!
-
Pemerintah Bongkar Penyelundupan Turunan CPO di Priok, Kerugian Negara Capai Miliaran Rupiah
-
HET Pupuk Subsidi Turun, Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi Dukung Langkah Bersejarah Pemerintah
-
New Ethylene Project Diresmikan, Bahlil Curhat Proses Pembangunannya di Depan Prabowo!
-
KJP Plus Tahap II 2025 Cair untuk 707 Ribu Siswa DKI, Cek Nominalnya