Suara.com - Kondisi ekonomi Indonesia terus menunjukkan tanda-tanda pelemahan dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini terlihat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang melambat, tingkat inflasi yang tinggi, dan nilai tukar rupiah yang terus melemah.
Pelemahan ekonomi ini berdampak signifikan terhadap masyarakat. Daya beli masyarakat semakin menurun, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa juga ikut melambat. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan mengalami kesulitan dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"10 tahun terakhir sekarang ini (periode Presiden Joko Widodo) apa yang terjadi pada kondisi ekonomi sosial kita, apakah daya beli masyarakat terutama kelompok bawah dan menengah membaik, apakah ekonomi membaik sehingga mampu menciptakan lapangan kerja yang sangat besar bagi anak muda? Ternyata tidak," kata Ekonom Senior sekaligus Founder Core Indonesia, Hendri Saparini dalam acara Ruang Gagasan Kemerdekaan Indonesia bertajuk 'Anak Muda Bisa Berkontribusi Apa? yang diselenggarakan Core Indonesia dan Suara.com di Jakarta pada Rabu malam (14/8/2024).
Bahkan kata Hendri saat ini daya beli kelompok menengah juga mengalami pelemahan daya beli. Kata dia kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya. "Ini adalah alarm. Ini adalah alarm bagi kita sebuah bangsa dimana kita pernah berjaya tapi sekarang ini kita memiliki beban yang sangat berat," katanya.
Menurut dia pelemahan kondisi ekonomi Indonesia sudah terjadi sejak era awal reformasi, tren tidak baik ini kata dia sangat mengkhawatirkan. "Ada tren ekonomi kita yang tidak baik dan sangat mengkhawatirkan kita apa yang sering disampaikan bahwa Indonesia Emas 2045 itu buka era bagi seluruh masyarakat Indonesia, karena ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun," katanya.
Hendri memaparkan bahwa pada tahun 1980 sampai 2000 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,4 persen, dari tahun 2000 sampai 2019 rata-rata pertumbuhannya turun ke 5,3 persen, kemudian tahun 2019 hingga saat ini kembali turun menjadi 5 persen.
"Apakah ini bermasalah? Iya. Kita mengalami prematur deindustrialisasi yang terlalu dini. Ini membahayakan untuk kita karena sektor ini yang membuka lapangan kerja yang paling banyak," pungkasnya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Daftar Pemegang Saham BUMI Terbesar, Dua Keluarga Konglomerat Masih Mendominasi
-
Tips dan Cara Memulai Investasi Reksa Dana dari Nol, Aman untuk Pemula!
-
Danantara Janji Kembalikan Layanan Premium Garuda Indonesia
-
Strategi Bibit Jaga Investor Pasar Modal Terhindar dari Investasi Bodong
-
ESDM Ungkap Alasan Sumber Listrik RI Mayoritas dari Batu Bara
-
Program Loyalitas Kolaborasi Citilink dan BCA: Reward BCA Kini Bisa Dikonversi Jadi LinkMiles
-
IHSG Berbalik Loyo di Perdagangan Kamis Sore, Simak Saham-saham yang Cuan
-
COO Danantara Tampik Indofarma Bukan PHK Karyawan, Tapi Restrukturisasi
-
COO Danantara Yakin Garuda Indonesia Bisa Kembali Untung di Kuartal III-2026
-
Panik Uang di ATM Mendadak Hilang? Segera Lakukan 5 Hal Ini