Suara.com - Di tengah gejolak geopolitik yang memanas dan ketidakpastian rantai pasok global, Indonesia kini berada di ambang peluang emas untuk mengukuhkan diri sebagai pemain kunci dalam industri kendaraan listrik (EV) dunia.
Perang tarif yang kian memanas antara Amerika Serikat dan Tiongkok memaksa banyak negara dan produsen global untuk mencari alternatif lokasi pasokan dan produksi yang lebih stabil dan netral, dan di sinilah Indonesia muncul sebagai kandidat terdepan.
Dengan posisi geografis yang strategis, kekayaan sumber daya mineral kritis yang melimpah, serta sikap non-blok yang dipegang teguh dalam konflik global, Indonesia semakin diperhitungkan sebagai mitra potensial dalam membangun rantai pasok EV yang aman dan berkelanjutan. Namun, peluang besar ini menuntut tindakan cepat dan konsisten dari pemerintah: percepatan hilirisasi seluruh mineral strategis.
Tidak hanya nikel yang selama ini menjadi primadona, tetapi juga tembaga dan aluminium harus segera diolah di dalam negeri. Langkah ini krusial untuk melengkapi rantai industri baterai dan kendaraan listrik secara utuh, mulai dari hulu hingga hilir, di tanah air.
Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Djoko Widayatno, menegaskan bahwa kekayaan mineral Indonesia, khususnya nikel, dapat menjadi senjata utama di tengah kondisi geopolitik energi bersih global.
"Nikel Indonesia bisa menjadi senjata strategis dalam geopolitik energi bersih global," ujar Djoko, Jumat (27/5/2025).
Djoko menjelaskan, upaya ini didukung oleh masuknya beberapa perusahaan global raksasa yang telah menanamkan investasi besar dalam pengembangan industri nikel dan turunannya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ini termasuk kolaborasi strategis dengan pemain kelas kakap seperti Tesla, BYD, LG Energy Solution, hingga CATL.
Dengan adanya investasi tersebut, pemerintah harus terus mendorong ekspor produk berbahan baku nikel dengan nilai tambah yang lebih tinggi, bukan lagi sekadar bijih mentah (ore nikel). Jika strategi ini berhasil dilaksanakan, Indonesia tidak hanya akan memperkuat fondasi untuk menjadi salah satu bagian penting bagi rantai pasok energi bersih di dunia, tetapi juga memantapkan posisinya sebagai pusat manufaktur, riset, dan distribusi komponen EV untuk kawasan Asia bahkan dunia.
"Posisi Indonesia sebagai bagian penting dari global green supply chain," pungkas Djoko, menggambarkan ambisi besar Indonesia di kancah global.
Baca Juga: LRNA Keluhkan Perang Tarif dan Makin Maraknya Angkutan Ilegal
Pemerintah telah memulai arah ini melalui kebijakan hilirisasi dan pembangunan kawasan industri hijau. Namun, Djoko menekankan bahwa konsistensi dan percepatan implementasi menjadi kunci utama untuk mengamankan peran strategis Indonesia di tengah perubahan peta rantai pasok global yang dinamis.
Perang tarif antara AS dan Tiongkok telah menciptakan celah bagi negara-negara netral seperti Indonesia untuk mengisi kekosongan dan menawarkan stabilitas. Dengan kekayaan sumber daya dan komitmen terhadap hilirisasi, Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi "surga" baru bagi investasi EV global. Tantangannya kini adalah bagaimana pemerintah dapat terus menjaga momentum, menarik lebih banyak investor, dan memastikan bahwa seluruh ekosistem EV dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan di Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunda tarif impor selama 90 hari untuk puluhan negara.
Trump menunda tarif yang dia sebut sebagai tarif "resiprokal" terhadap 60 mitra dagang AS dan UE, yang minggu lalu berkisar dari 46% untuk Kamboja, 32% untuk Indonesia, dan 20% untuk negara anggota UE.
Namun, para kritikus berpendapat bahwa tarif tersebut tidak dihitung berdasarkan tarif yang dikenakan negara lain terhadap AS. Tarif ditetapkan berdasarkan perhitungan surplus perdagangan negara tersebut dengan AS oleh pemerintahan Trump. Meski ada penundaan, tarif dasar sebesar 10% tetap berlaku untuk semua impor dari negara mana pun.
Penundaan ini tidak mempengaruhi tarif yang sudah lebih dulu diberlakukan oleh Trump, termasuk untuk baja, aluminium, mobil, dan suku cadang kendaraan. Produk energi dan mineral tertentu yang tidak tersedia secara domestik juga tidak termasuk dalam penundaan ini.
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Daftar Pemegang Saham BUMI Terbesar, Dua Keluarga Konglomerat Masih Mendominasi
-
Tips dan Cara Memulai Investasi Reksa Dana dari Nol, Aman untuk Pemula!
-
Danantara Janji Kembalikan Layanan Premium Garuda Indonesia
-
Strategi Bibit Jaga Investor Pasar Modal Terhindar dari Investasi Bodong
-
ESDM Ungkap Alasan Sumber Listrik RI Mayoritas dari Batu Bara
-
Program Loyalitas Kolaborasi Citilink dan BCA: Reward BCA Kini Bisa Dikonversi Jadi LinkMiles
-
IHSG Berbalik Loyo di Perdagangan Kamis Sore, Simak Saham-saham yang Cuan
-
COO Danantara Tampik Indofarma Bukan PHK Karyawan, Tapi Restrukturisasi
-
COO Danantara Yakin Garuda Indonesia Bisa Kembali Untung di Kuartal III-2026
-
Panik Uang di ATM Mendadak Hilang? Segera Lakukan 5 Hal Ini