Suara.com - Setelah begal payudara, kini begal pantat mulai mengintai perempuan. Perlakuan bejat itu menimpa seorang pesepeda perempuan, LD (24) di Semarang, Jawa Tengah. LD mengaku pantatnya diraba dan diremas saat tengah bersepeda.
"Saat itu, saya kan mulai dari rumah saya di Gadjah Mada menuju Kota Lama dan Simpang Lima. Ketika perjalanan pulang, saya mendapat perlakuan bejat itu," kata LD dikutip SuaraJawatengah pada Senin, 22 Juni 2020.
Perlakuan serupa juga terjadi pada mahasiswi di Gang Mulia, RT 08/08, Jalan Otista Raya, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Pelaku bernama Baharudin dan berusia 27 tahun itu sudah ditangkap oleh Polres Metro Jakarta Timur.
Lalu apa sih sebenarnya yang ada di pikiran orang-orang yang seenaknya memegang tubuh orang lain tanpa consent?
Dilansir dari Psychology Today, Ellen Hendriksen, Ph.D. seorang psikolog klinis di Center for Anxiety and Related Disorders (CARD) Universitas Boston menyatakan, bahwa orang yang melakukan pelecehan seksual cenderung memiliki salah satu dari beberapa kondisi psikologi antara lain:
1. The Dark Triad
Tiga sifat gelap dalam psikologi atau yang sering kali disebut dengan The Dark Triad, meliputi narsisme, psikopati, dan Machiavellianism.
"Narsisme adalah pandangan melambung tentang bakat seseorang ditambah dengan kurangnya empati dan urgensi yang mendalam. Orang narsisis tidak peduli jika Anda menyukainya, tetapi mereka memang mengharuskan Anda untuk berpikir bahwa mereka kuat dan pantas dikagumi," tulis Hendriksen.
Selanjutnya, psikopati yang berputar di sekitar dua sifat, yakni dominasi tanpa rasa takut dan impulsif agresif. Dengan kata lain, psikopat adalah orang yang berani dan pengeksploitasi yang manipulatif.
Baca Juga: Yogyakarta Masuk Tiga Besar Kota Tujuan Wisatawan Lokal di Era New Normal
"Mereka juga tidak memiliki empati tetapi unggul dalam meniru emosi yang benar untuk mengeksploitasi korban mereka," imbuhnya.
Machiavellianism menggambarkan sebagai sikap tidak bermoral dan penuh tipu daya dengan memperhatikan tujuan jangka panjang dengan biaya berapa pun.
2. Moral disengagement
Moral disengagement adalah tipuan lain dari karakteristik.
"Moral disengagement adalah sebuah proses kognitif di mana individu membenarkan kesalahan mereka sendiri dan menciptakan versi realitas mereka sendiri di mana prinsip-prinsip moral tidak berlaku bagi mereka," catat Hendriksen dalam Psychology Today.
Berita Terkait
Terpopuler
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- 5 Fakta Viral Kakek 74 Tahun Nikahi Gadis 24 Tahun, Maharnya Rp 3 Miliar!
- Promo Super Hemat di Superindo, Cek Katalog Promo Sekarang
- Tahu-Tahu Mau Nikah Besok, Perbedaan Usia Amanda Manopo dan Kenny Austin Jadi Sorotan
Pilihan
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
-
Cuma Satu Pemain di Skuad Timnas Indonesia Sekarang yang Pernah Bobol Gawang Irak
Terkini
-
Terungkap! Ini Rahasia Otak Tetap Prima, Meski di Usia Lanjut
-
Biar Anak Tumbuh Sehat dan Kuat, Imunisasi Dasar Jangan Terlewat
-
Susu Kambing Etawanesia Bisa Cegah Asam Urat, Ini Kata dr Adrian di Podcast Raditya Dika
-
Toko Roti Online Bohong Soal 'Gluten Free'? Ahli Gizi: Bisa Ancam Nyawa!
-
9.351 Orang Dilatih untuk Selamatkan Nyawa Pasien Jantung, Pecahkan Rekor MURI
-
Edukasi PHBS: Langkah Kecil di Sekolah, Dampak Besar untuk Kesehatan Anak
-
BPA pada Galon Guna Ulang Bahaya bagi Balita, Ini yang Patut Diwaspadai Orangtua
-
Langsung Pasang KB Setelah Menikah, Bisa Bikin Susah Hamil? Ini Kata Dokter
-
Dana Desa Selamatkan Generasi? Kisah Sukses Keluarga SIGAP Atasi Stunting di Daerah
-
Mulai Usia Berapa Anak Boleh Pakai Behel? Ria Ricis Bantah Kabar Moana Pasang Kawat Gigi