Suara.com - Beragam kedai kopi meluncurkan kopi dengan kemasan besar satu liter untuk dikonsumsi di rumah. Adakah dampak kesehatannya menurut dokter?
Praktisi Kesehatan sekaligus Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam menyarankan untuk tidak menghabiskan kopi kemasan 1 liter dalam waktu sehari, karena dampak kelebihan kafein dalam kopi bisa memicu penyakit berbahaya.
"Dampak kafein jantung berdebar efeknya hipertensi, orang hipertensi tidak boleh minum kopi bisa meningkatkan tekanan darah," ujar Prof. Ari dalam IG LIVE, Kamis (24/9/2020).
Dalam satu cangkir kopi biasanya terkandung 50 miligram kafein, tubuh masih bisa mentolelir 1 hingga 3 cangkir kopi berkisar 450 cc sehari.
Tapi dalam satu botol kopi terkandung 1000 cc, artinya ada sekitar 4 hingga 5 cangkir, dan itu berbahaya jika dikonsumsi dalam waktu sehari.
"Makanya beberapa hari lalu pasien datang ke saya, anak muda lambungnya kambung, ternyata dia beli kopi satu liter, ternyata maksudnya mau irit tapi tidak memikirkan dampaknya," papar Prof. Ari.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga mengingatkan pentingnya melihat takaran kafein dalam secangkir kopi.
Jangan lupa juga batasan jumlah kopi yang bisa ditolerir tubuh.
Bagus apabila kemasan kopi satu liter itu bisa dikonsumsi dalam jangka waktu satu hingga tiga hari.
Baca Juga: Sering Minum Kopi Bisa Tingkatkan Asam Lambung, Mitos atau Fakta?
Tapi apabila harus diminum dalam sehari karena bisa basi, bukannya irit justru memicu penyakit.
"Kalau ditolerir tubuh hanya 3 cangkir 450 cc, sudah aja keep stop maksimal mengonsumsi kopi, atau apabila dalam satu rumah ada 4 hingga 5 orang bisa konsumsi itu bersama-sama, tidak masalah," tuturnya.
Kopi Sebabkan Asam Lambung
Terkait dengan konsumsi kopi yang bisa menyebabkan asam lambung, Prof Ari mengatakan hal tersebut memang biasa terjadi.
"Perlu disampaikan di dalam kopi itu ada unsur kafein, kafein ini disebutkan bisa meningkatkan asam lambung," ujar Prof. Ari.
Meski para produsen minuman kopi berdalih tidak mengandung zat asam atau non acid, kandungan kafein inilah dipastikan bisa meningkatkan asam lambung.
Berita Terkait
-
Menkes Kirim 600 Dokter ke Aceh Mulai Pekan Depan, Fokus Wilayah Terisolasi
-
Dokter Estetika Korea: Kulit Sehat Jadi Tren Baru Perawatan Kecantikan, Kenapa?
-
Roy Suryo Tunjukkan Kejanggalan 'Mecothot' Ijazah Jokowi: 99,9 Persen Palsu!
-
Selang Urine Tertinggal di Ginjal Pasien, Dokter RS Borromeus Divonis Langgar Disiplin
-
Kenapa Kaki Kram Saat Lari dan Bagaimana Mengatasinya? Ini Kata Dokter Tirta
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
Terkini
-
Heartology Cetak Sejarah: Operasi Jantung Kompleks Tanpa Belah Dada Pertama di Indonesia
-
Keberlanjutan Makin Krusial dalam Layanan Kesehatan Modern, Mengapa?
-
Indonesia Kini Punya Pusat Bedah Robotik Pertama, Tawarkan Bedah Presisi dan Pemulihan Cepat
-
Pertama di Indonesia, Operasi Ligamen Artifisial untuk Pasien Cedera Lutut
-
Inovasi Terapi Kanker Kian Maju, Deteksi Dini dan Pengobatan Personal Jadi Kunci
-
Gaya Bermain Neymar Jr Jadi Inspirasi Sepatu Bola Generasi Baru
-
Menopause dan Risiko Demensia: Perubahan Hormon yang Tak Bisa Diabaikan
-
Penelitian Ungkap Mikroplastik Memperparah Penyempitan Pembuluh Darah: Kok Bisa?
-
Lari Sambil Menjelajah Kota, JEKATE Running Series 2025 Resmi Digelar
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?