Suara.com - Masyarakat Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di Asia Tenggara dalam jumlah konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Remaja jadi kelompok paling dominan dalam konsumsi minuman tersebut.
Temuan itu berdasarkan riset yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyatakat Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).
"Kami mendapati anak-anak usia 13-18 tahun merupakan konsumsi tertinggi, per harinya sampai 4,7 mililiter per orang per hari," kata Plt. Manajer Riset CISDI Gita Kusnadi, MPH, dalam webinar Aliansi Penyakit Tidak Menular (PTM) Indonesia, Rabu (18/5/2022).
Dari hasil riset tahun 2018 juga ditemukan, 1 dari 10 anak dan remaja di Indonesia mengonsumsi MBDK lebih dari satu kali.
Gita menyampaikan, kebanyakan MBDK di Indonesia mengandung gula terlalu banyak. Seperti minuman soda dengan rasa strawberi yang ditaksir mengandung sekitar 46 gram gula atau hampir 5 sendok makan.
"Kalau kita lihat ini sudah mendekati dari anjuran Kementerian Kesehatan. Produk lain pun ada minuman bersoda kandungan gulanya juga sampai 12 sendok teh, itu sudah melebihi (anjuran Kemenkes). Ini baru dari produk yang MBDK, belum dari asupan gula lain," kata Gita.
Temuan itu berbading lurus dengan prevalensi pengidap diabetes yang juga tinggi di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan mencatat, pengidap diabetes di Indonesia per 2020 sebanyak 6,2 persen atau sekitar 10,8 juta orang.
Menurut Gita, kondisi tersebut bukan hanya disebabkan pengetahuan masyarakat mengenai diabetes yang masih kurang, tapi juga mudahnya akses terhadap MBDK dengan harga terjangkau.
"Konsumsi MBDK ini memicu juga obesitas, di mana ini merupakan faktor risiko awal yang dapat memicu adanya PTM yang lain. Seperti diabetes, hipertensi, kerusakan liver, dan ginjal. Kemudian penyakit jantung bahkan juga beberapa jenis kanker," tuturnya.
Baca Juga: Calon Anaknya Perempuan, Ria Ricis: Allah Lebih Dengar Doa Suami Saya
Selain edukasi kepada masyarakat terhadap bahaya konsumsi MBDK berlebihan, CISDI juga meminta pemerintah untuk menaikan cukai agar harga jual produk ikut naik.
"Kenaikan harga itu dapat mendorong masyarakat untuk berpikir dalam mengonsumsi MBDK. Mereka akan menurunkan konsumsi MBDK bahkan mendorong untuk mengubah perilaku untuk membeli produk yang lebih sehat. Pada akhirnya akan memicu penurunan tingkat obesitas dan risiko PTM," tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott, Belum Kering Tangis Timnas Indonesia
- Pondok Pesantren Lirboyo Disorot Usai Kasus Trans 7, Ini Deretan Tokoh Jebolannya
- Pengamat Pendidikan Sebut Keputusan Gubernur Banten Nonaktifkan Kepsek SMAN 1 Cimarga 'Blunder'
- Biodata dan Pendidikan Gubernur Banten: Nonaktifkan Kepsek SMA 1 Cimarga usai Pukul Siswa Perokok
- Apa Acara Trans7 yang Diduga Lecehkan Pesantren Lirboyo? Berujung Tagar Boikot di Medsos
Pilihan
-
Dear PSSI! Ini 3 Pelatih Keturunan Indonesia yang Bisa Gantikan Patrick Kluivert
-
Proyek Sampah jadi Energi RI jadi Rebutan Global, Rosan: 107 Investor Sudah Daftar
-
Asus Hadirkan Revolusi Gaming Genggam Lewat ROG Xbox Ally, Sudah Bisa Dibeli Sekarang!
-
IHSG Rebound Fantastis di Sesi Pertama 16 Oktober 2025, Tembus Level 8.125
-
Dipecat PSSI, Ini 3 Pekerjaan Baru yang Cocok untuk Patrick Kluivert
Terkini
-
Turun Berat Badan Tanpa Drama, Klinik Obesitas Digital Ini Siap Dampingi Perjalanan Dietmu
-
Tips Jaga Kesehatan Kulit di Tengah Tumpukan Pekerjaan Akhir Tahun
-
RS Swasta Gelar Pameran Kesehatan Nasional, Ajak Publik Hidup Lebih Sehat dan Peduli Diri
-
Lawan Kanker: Tenaga Biomedis RI Digenjot Kuasai Teknologi Pencitraan Medis!
-
Lebih dari Sekadar Lari: Half Marathon dengan Pemandangan Ikonik Jakarta
-
Cuaca Panas Bikin Kulit Gatal dan Ruam Merah? Itu Tanda Alergi, Ini Obat yang Tepat
-
Peer Parenting: Rahasia Ibu Modern Membangun Generasi Luar Biasa
-
Rahmad Setiabudi Jadi Pelari Indonesia Tercepat di Chicago Marathon 2025
-
Kenapa Anak Muda Sekarang Banyak Terserang Vertigo? Ini Kata Dokter
-
Tips Edukasi Kesehatan Reproduksi dan Menstruasi untuk Remaja Sehat dan Percaya Diri