Suara.com - Lebarkan Sayap Batik Kultur, Dea Valencia Rangkul Karyawan Difabel.
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya, tak terkecuali mereka yang punya keterbatasan.
Inilah yang selalu ada dalam pikiran seorang Dea Valencia dalam menjalani label Batik Kultur yang ia dirikan delapan tahun yang lalu. Semangat ini pula yang membuatnya mantap merekrut para penyandang disabilitas untuk bekerja bersamanya.
"Awalnya ini semua nggak sengaja. Saya sedang visit ke salah satu supplier, lalu ketemu sama karyawan difabel pertama kami, namanya mbak tumi. Dia minta dicariin pekerjaan, akhirnya kita terima untuk bekerja di Batik Kultur," jelas Dea saat ditemui belum lama ini.
Lebih lanjut, perempuan asal Semarang ini mengatakan, karena tangan dan kakinya kurang lengkap, Mbak Tumi sebenarnya butuh partner untuk menguncir rambutnya setiap ingin bekerja. Lalu, masuklah tiga karyawan difabel lainnya yang berasal dari teman-teman Mbak Tumi.
Jumlahnya pun terus bertambah. Berawal dari hanya satu orang, kini 50 dari 120 karyawan Batik Kultur diisi para difabel. Dea Valencia mengungkap, pastinya ada tantangan tersendiri dalam mempekerjakan para difabel di Batik Kultur.
Ia harus menempatkan mereka sesuai kemampuannya dengan cara memberikan sebuah orientasi singkat untuk melihat apa yang mereka kuasai. Mulai dari membordir, menjahit, admin, fotografi hingga SPG.
"Jadi di tempat kami, memang peralatan untuk mereka bekerja harus kami modifikasi sesuai kebutuhan mereka. Seperti membordir, alatnya diberikan tambahan, supaya tidak menghalangi mereka untuk terus berkarya," jelas Dea.
Dea sadar, dirinya bukan siapa-siapa tanpa bantuan dari para karyawannya saat ini.
Baca Juga: Nasib Ustaz Abdul Somad Disebut Bisa Seperti Ahok
Hal inilah yang membuat perempuan kelahiran Semarang, 14 Februari 1994 merasa bahwa dirinya harus mengenalkan siapa saja yang menjahit busana-busana tersebut, hingga bisa sampai di tangan para pelanggan setianya.
Kalau bukan karena mereka, kata Dea Valencia, mungkin Batik Kultur tak akan pernah bisa berkembang seperti saat ini. Bahkan, Dea mengungkap jika dirinya tak bisa menjahit.
"Jadi, kalau pelanggan beli baju di Batik Kultur, di tag-nya akan ada cerita dari setiap para penjahit yang mengerjakan baju ini. Siapa namanya, bagaimana kehidupannya, anaknya berapa, dan lainnya," ungkapnya lagi.
Menurutnya, setiap potongan kain yang diproduksi menjadi baju di Batik Kultur, memang hanya dikerjakan oleh satu orang saja. Dalam satu hari mereka menghabiskan berjam-jam, untuk mengukur, memotong, menjahit, mengobras hingga menjadi pakaian cantik yang bisa gunakan.
Awal mula Batik Kultur
Sejak kecil, Dea sudah dikenalkan dengan Batik dan berdagang Batik Lawasan milik ibunya. Namun keinginan Dea untuk memiliki dan menjual baju-baju cantik seperti yang ia mau sangat besar.
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Bukan Cuma Teori, Ini Cara Kampus Menyiapkan Mahasiswa Masuk Dunia Kerja
-
5 Sunscreen yang Bikin Makeup Makin Flawless dan Nempel Seharian, Mulai Rp30 Ribuan!
-
ViaVia Jogja Rayakan Tiga Dekade, Hadirkan Pameran Seni Reuni 60 Seniman
-
11 Oleh-Oleh Khas Malang yang Unik dan Lezat, Bukan Cuma Keripik Apel
-
7 Rekomendasi Lipstik dengan Kandungan SPF 30, Bikin Bibir Lembap dan Berwarna
-
7 Basic Skincare Anti Aging Usia 40 Tahun ke Atas, Stop Flek Hitam dan Kulit Kendur
-
5 Rekomendasi Body Lotion dengan Kandungan Niacinamide, Ampuh Mencerahkan Kulit Kusam
-
7 Sepatu Recovery Run Lokal yang Nyaman, Kualitas Dunia Bebas Lari Tanpa Pegal!
-
6 Moisturizer untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Kunci Kulit Lembap dan Awet Muda
-
7 Rekomendasi Oleh-oleh Jogja Selain Gudeg dan Bakpia, Cocok Dibawa Pulang Saat Libur Nataru