Suara.com - Saat ini, ruang bagi perempuan yang terproduksi dalam film masih memandang secara sterotipe. Atau masih memperlihatkan bagian seksual perempuan yang mencolok di setiap adegan film tersebut. Bahkan, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti, menyatakan, “Defisi representasi positif perempuan di media dapat berdampak pada gambar diri anak perempuan. Media massa, pengiklan, dan paktisi perfilman bisa bekerjasama mengurangi defisit ini dan membuka ruang lebih luas untuk narasi positif tentang perempuan dan perempuan pemimpin."
Dini Widiastuti juga mengatakan, andai lebih banyak lagi profil perempuan sebagai pemimpin ada di media dan film, niscaya akan lebih mudah bagi anak-anak perempuan untuk membayangkan dirinya menjadi pemimpin.
Dilansir dari siaran pers Infographic-Stereotipe Gender masih Kental di Industri Film dan Iklan yang diterima Suara.com, Plan International yang bekerjasama dengan Greena Davis Institute on Gender In Media (GDIGM), menyoroti seksisme di industri film dan iklan melalui laporan terbaru berjudul Rewrite Her Story. Laporan tersebut dibuat berdasarkan opini/pendapat lebih dari 10.000 anak perempuan di beberapa negara.
Laporan ini menganalisis 56 film terlaris sepanjang tahun 2018 di 20 negara dan 108 iklan di 5 negara. Laporan tersebut diluncurkan menjelang Hari Anak Perempuan Internasional pada tanggal 11 Oktober 2019. Hal ini menunjukkan demi membangun narasi yang berdampak bagi opini anak perempuan. Dan potret perempuan dan pemimpin yang kerap tampil di layar kaca sangat mempengaruhi bagaimana anak perempuan menilai dirinya serta melihat konsep sebuah kepemimpinan di dalamnya.
Beberapa temuan yang ada di dalam laporan Rewrite Her Story tersebut di antaranya hampir seluruh responden berjumlah (94%) berpendapat bahwa perempuan yang menjadi pemimpin tidak mendapat perlakuan sebaik laki-laki yang juga menjadi pemimpin hanya karena masalah gender. Karakter tokoh aktris, yang digambarkan sebagai seorang pemimpin, lebih sering dikomodifikasi secara seksual dibanding aktor. Tokoh perempuan yang diperankan dalam film tersebut empat kali lebih sering ditampilkan berbusana terbuka dibanding laki-laki (30% banding 7%) dan hampir lebih dua kali lebih sering tampak separuh telanjang.
Perempuan juga dianggap lebih efektif menjadi pemimpin di keluarga dan komunitas (81%) dibanding laki-laki (62%). Sementara laki-laki digambarkan lebih efektif menjadi pemimpin di tingkat nasional (57%) dibanding perempuan (27%).
Beberapa perempuan sebagai pembuat film turut diwawancara untuk melihat bagaimana partisipasi mereka di industri film, yang juga ternyata masih minim. Dari 250 film terlaris tahun 2018 di Amerika, hanya 20% perempuan yang menempati posisi sutradara, penulis, produser, editor, dan sinematografer. Bahkan, hanya sekitar 2 dari 250 film tersebut yang mempekerjakan setidaknya sepuluh perempuan dalam satu produksi film yang sama. Sementara, sekitar 185 film lainnya mempekerjakan lebih dari 10 laki-laki untuk posisi kunci di atas.
Asumsi-asumsi sosial yang mereduksi ruang gerak perempuan di sekitar sumur, dapur, dan kasur juga mendapat protes dari anak-anak yang turut mengevaluasi 108 iklan di Jepang, India, Republik Dominika, Senegal, dan Sudan Selatan. Mereka mengkritisi sebuah komodifikasi tubuh perempuan untuk promosi produk, juga tuntutan bahwa model perempuan harus cantik, dan ruang gerak perempuan yang juga dibatasi di rumah. Dan laki-laki, sementara, digambarkan sebagai pemimpin yang lebih cerdas.
Di konteks Indonesia, opini serupa terlihat dari hasil polling yang dilakukan Plan Indonesia dan U-Report dengan responden 2968 anak laki-laki dan perempuan berusia 12-18 tahun. Sebanyak 85,3% responden menyatakan perempuan kerap ditampilkan sebagai korban kekerasan seksual dan 77,2% berpendapat bahwa laki-laki lebih sering ditokohkan sebagai pemimpin di tayangan media.
Baca Juga: Perempuan Berkacamata Lebih Cantik di Mata Pria, Ini Kata Penelitian
Aktris Hollywood ternama, Greena Davis, menegaskan, “Film dan media berpengaruh hebat pada cara pandang anak perempuan terhadap dirinya sendiri dan cara dunia melihat mereka. Anak perempuan perlu melihat diri dan karakter mereka tercermin di layar. Karakter positif dan otentik dapat menginspirasi mereka untuk berkembang. Pembuat konten di industri media dan entertainment berkesempatan mempengaruhi aspirasi anak perempuan dengan cara menghentikan stereotype gender yang merusak.” (Aflaha Rizal)
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
Pilihan
-
Sriwijaya FC Selamat! Hakim Tolak Gugatan PKPU, Asa Bangkit Terbuka
-
Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur
-
Luar Biasa! Jay Idzes Tembus 50 Laga Serie A, 4.478 Menit Bermain dan Minim Cedera
-
4 Rekomendasi HP OPPO Murah Terbaru untuk Pengguna Budget Terbatas
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
Terkini
-
Rahasia Kecantikan Alami, Ini 4 Langkah Melakukan Perawatan Kulit yang Minimalis
-
4 Rekomendasi Eksfoliasi Gel Pengganti Retinol untuk Kulit Kering
-
5 Bedak Padat di Bawah Rp50 Ribu untuk Anak Kuliahan, Bisa Kontrol Minyak Berlebih
-
5 Sunscreen Lokal untuk Atasi Kulit Kering, Bikin Lembap dan Nyaman Dipakai Sehari-hari
-
5 Cushion Lokal Selevel YSL untuk Pekerja Kantoran, Murah tapi Berkualitas
-
Tanggal 24 Desember 2025 Libur atau Tidak? Cek Lagi Daftar Resmi Libur Natal 2025
-
4 Rekomendasi Serum Retinol untuk Wanita Dewasa, Ampuh Atasi Jerawat Hormonal
-
Doa Buka Puasa Rajab Sekaligus Qadha Ramadhan yang Benar, Jangan Sampai Keliru
-
Sungboon Editor Resmi Hadir di Indonesia, Bawa Skincare Clean Berbasis Sains untuk Kulit Tropis
-
5 Sepatu Lari Adidas di Bawah Rp1 Juta di Sports Station, Nyaman dan Tetap Stylish