Lifestyle / Komunitas
Jum'at, 28 November 2025 | 17:18 WIB
Bukan Sekadar Gereja: Inilah 'Rumah Bunda' di Lereng Gunung Wilis yang Menawarkan Kedamaian Batin (Dok. Istimewa)
Baca 10 detik
  • Pondok Rosario Nazareth menawarkan doa sunyi dan pengalaman spiritual yang menenangkan.
  • Gereja Puhsarang memadukan iman Katolik dan budaya Jawa.
  • Akses makin mudah berkat Dhoho International Airport dan dukungan Bupati Kediri.

Suara.com - Di lereng Gunung Wilis, di antara hening malam dan aroma tanah basah, Gereja Puhsarang berdiri sebagai salah satu pusat spiritual paling dikenal umat Katolik

Namun di balik kemegahan kompleksnya, terdapat sebuah sudut kecil yang tak kalah penting, Pondok Rosario Nazareth. 

Terletak tak jauh dari jalur ziarah utama, pondok sederhana ini kerap disebut umat sebagai “tempat Bunda beristirahat”, ruang sunyi yang membawa peziarah pada kedalaman hati mereka.

Pondok Rosario Nazareth menawarkan suasana Nazareth dalam bentuk paling lembut. Di sini, doa-doa rosario dipanjatkan dalam keheningan. 

Pada bulan Mei dan Oktober, ketika devosi kepada Bunda Maria mencapai puncaknya, pondok ini menjadi tempat di mana banyak peziarah merasakan seolah berada di rumah Bunda sendiri.

Bukan Sekadar Gereja: Inilah 'Rumah Bunda' di Lereng Gunung Wilis yang Menawarkan Kedamaian Batin (Dok. Istimewa)

Di kompleks ini disediakan tiga pondok rosario, masing-masing mewakili peristiwa gembira, sedih, dan mulia dalam kehidupan Tuhan Yesus.

Berbeda dengan Gua Maria Lourdes yang ramai, Pondok Rosario Nazareth menjadi ruang batin yang lebih personal. Doanya tidak lantang, tidak tergesa—lebih pelan, lebih dalam.

 Banyak yang datang bukan untuk meminta sesuatu, tetapi untuk menyerahkan diri sepenuhnya.

Doa Tengah Malam: Ketika Sunyi Menjadi Bahasa Iman

Baca Juga: 29 Warga Luka-Luka dan Satu Gereja Rusak Akibat Gempa Bumi Poso

Tradisi tak tertulis yang telah berlangsung bertahun-tahun membuat pondok ini memiliki daya tarik tersendiri pada malam-malam tertentu, terutama Jumat Legi dan Selasa Kliwon. 

Setelah berziarah di Gua Maria Lourdes, sejumlah umat memilih menunggu hingga tengah malam di pondok ini. Tidak ada liturgi, tidak ada nyanyian—hanya lilin kecil dan angin malam yang membawa bisikan doa.

Di tengah gelap dan hening, peziarah duduk dalam kontemplasi: memegang rosario, menutup mata sambil merapal doa, atau hanya diam dan merenung. Tidak sedikit dari mereka yang menangis—kadang tanpa kata, hanya dengan keheningan yang menyembuhkan.

“Saya ke sini beberapa kali, seringnya waktu kerjaan lagi penat-penatnya atau butuh petunjuk dalam keputusan. Diam aja semalaman, kayak bicara dengan diri sendiri dan Tuhan. Yang penting hati enteng pas pulang,” tutur Andreas, pengunjung asal Jakarta. 

Banyak umat percaya bahwa pada jam-jam sunyi itu, batas antara manusia dan langit menjadi lebih tipis.

Ketika Iman Katolik Bertemu Jiwa Jawa

Load More