Pengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti. [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Pengamat politik dari lembaga Lingkar Madani, Ray Rangkuti, setuju dengan ide rekonsiliasi usai pilkada Jakarta. Menurut Ray Rangkuti gagasan tersebut akan semakin berbobot jika diiringi dengan evaluasi penyebab terjadinya pengkotakan masyarakat, antara kubu Anies Baswedan dan kubu Basuki Tjahaja Purnama.
"Evaluasi ini penting agar kita menyadari apa kiranya yang mengakibatkan warga terpecah keras hanya karena misalnya urusan pilkada," kata Ray kepada Suara.com, Kamis (18/5/2017).
Berkaca pada pilkada yang dilaksanakan di berbagai daerah, kata Ray Rangkuti, pilkada effect sebenarnya bisa dipersingkat dan dilokalisir. Apalagi jika yang memicunya hanya perbedaan tentang bagaimana cara memajukan kota dan pengelolaan sebuah pemerintahan.
"Tapi di Jakarta, bukan hanya soal cara dan bagaimana kota dan pemerintahan dikelola. Jakarta dipecah juga oleh isu SARA yang begitu vulgar. Identitas seiman dan berbeda iman begitu gencar disuarakan. Rumah-rumah ibadah dipergunakan untuk mempertegas kita dengan mereka. Tak hanya agama, identitas suku juga membelahnya," tutur Ray.
Menurut catatan Ray pilkada Jakarta tahun ini tentang dengan isu SARA. Isu sensitif ini dipakai secara terbuka dan turut berpengaruh.
"Dikotomi kita dengan mereka seolah tak mampu lagi dijembatani oleh kita adalah Indonesia. Tentu saja, penggunaan SARA yang luas ini akan memantik keterlibatan emosional rakyat secara umumnya," ujar Ray.
"Pilkada DKI Jakarta bukan semata-mata soal bagaimana gagasan kita dan cara mengelola pemerintahan dan kota, tapi pilkada bahkan menjelma menjadi soal identitas kita dengan identitas mereka," Ray menambahkan.
Ray menambahkan visi, misi, dan gagasan memang diperbincangkan, khususnya di dalam forum-forum resmi, tetapi penonjolan identitas jauh lebih massif daripada perbincangan soal visi, misi.
"Apa artinya hal ini dan hubungannya dengan ajakan rekonsiliasi atau pendinginan suasana? Jelas ada. Ajakan itu benar tapi sekaligus menutup mata untuk menyelesaikan persoalan atau faktor utamanya," tutur Ray.
Tanpa upaya membenahi faktor utama, kata dia, imbauan itu hanya akan jadi rutinitas yang justru di saat yang sama membiarkan kuman penyakit membesar.
Itu sebabnya, ide rekonsiliasi sebaiknya diiringi dengan ajakan untuk berkomitmen bahwa isu SARA sama sekali tak dapat diperkenankan dalam hajatan politik.
"Defenisi tak seiman dan karena itu tak boleh dipilih, harus dinyatakan sesuatu yang tak patut diumbar demi keuntungan politik," ujar Ray.
Mengumbar identitas SARA, kata Ray, terbukti bukan saja menenggelamkan visi dan misi calon, tapi juga membuat masyarakat terpecah, bahkan setelah pilkada.
"Rekonsiliasi dan pendinginan suasana itu tentu baik. Tapi jauh lebih sempurna kalau kita meneguhkan komitmen untuk mencegah penggunaan SARA di dalam hajatan politik. Agar hal ini tak terulang lagi, khususnya dipelaksanaan pilkada serentak 2018 yang sudah di depan mata, dan pileg-pilpres 2019 berikutnya," kata Ray.
"Evaluasi ini penting agar kita menyadari apa kiranya yang mengakibatkan warga terpecah keras hanya karena misalnya urusan pilkada," kata Ray kepada Suara.com, Kamis (18/5/2017).
Berkaca pada pilkada yang dilaksanakan di berbagai daerah, kata Ray Rangkuti, pilkada effect sebenarnya bisa dipersingkat dan dilokalisir. Apalagi jika yang memicunya hanya perbedaan tentang bagaimana cara memajukan kota dan pengelolaan sebuah pemerintahan.
"Tapi di Jakarta, bukan hanya soal cara dan bagaimana kota dan pemerintahan dikelola. Jakarta dipecah juga oleh isu SARA yang begitu vulgar. Identitas seiman dan berbeda iman begitu gencar disuarakan. Rumah-rumah ibadah dipergunakan untuk mempertegas kita dengan mereka. Tak hanya agama, identitas suku juga membelahnya," tutur Ray.
Menurut catatan Ray pilkada Jakarta tahun ini tentang dengan isu SARA. Isu sensitif ini dipakai secara terbuka dan turut berpengaruh.
"Dikotomi kita dengan mereka seolah tak mampu lagi dijembatani oleh kita adalah Indonesia. Tentu saja, penggunaan SARA yang luas ini akan memantik keterlibatan emosional rakyat secara umumnya," ujar Ray.
"Pilkada DKI Jakarta bukan semata-mata soal bagaimana gagasan kita dan cara mengelola pemerintahan dan kota, tapi pilkada bahkan menjelma menjadi soal identitas kita dengan identitas mereka," Ray menambahkan.
Ray menambahkan visi, misi, dan gagasan memang diperbincangkan, khususnya di dalam forum-forum resmi, tetapi penonjolan identitas jauh lebih massif daripada perbincangan soal visi, misi.
"Apa artinya hal ini dan hubungannya dengan ajakan rekonsiliasi atau pendinginan suasana? Jelas ada. Ajakan itu benar tapi sekaligus menutup mata untuk menyelesaikan persoalan atau faktor utamanya," tutur Ray.
Tanpa upaya membenahi faktor utama, kata dia, imbauan itu hanya akan jadi rutinitas yang justru di saat yang sama membiarkan kuman penyakit membesar.
Itu sebabnya, ide rekonsiliasi sebaiknya diiringi dengan ajakan untuk berkomitmen bahwa isu SARA sama sekali tak dapat diperkenankan dalam hajatan politik.
"Defenisi tak seiman dan karena itu tak boleh dipilih, harus dinyatakan sesuatu yang tak patut diumbar demi keuntungan politik," ujar Ray.
Mengumbar identitas SARA, kata Ray, terbukti bukan saja menenggelamkan visi dan misi calon, tapi juga membuat masyarakat terpecah, bahkan setelah pilkada.
"Rekonsiliasi dan pendinginan suasana itu tentu baik. Tapi jauh lebih sempurna kalau kita meneguhkan komitmen untuk mencegah penggunaan SARA di dalam hajatan politik. Agar hal ini tak terulang lagi, khususnya dipelaksanaan pilkada serentak 2018 yang sudah di depan mata, dan pileg-pilpres 2019 berikutnya," kata Ray.
Tag
Komentar
Berita Terkait
-
Dedi Mulyadi Akui Marketnya Makin Luas Gara-Gara Sering Ngonten, Mau Nyapres?
-
Jatuh Bangun Nasib Ridwan Kamil: Gagal di Jakarta, Kini Terseret Isu Korupsi dan Perselingkuhan
-
Tim RIDO Laporkan KPU ke DKPP dan Minta Pemungutan Suara Ulang, Anies: No Comment!
-
Pilkada DKI: El Rumi Pilih Dharma-Kun, Soroti Masalah Kabel Listrik
-
Cak Lontong 'Ronda' Amankan Suara Pramono-Rano di Masa Tenang Pilkada
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Gunung Guruh Bogor Kian Masif, Isu Dugaan Beking Aparat Mencuat
-
Sidang Ditunda! Nadiem Makarim Sakit Usai Operasi, Kuasa Hukum Bantah Tegas Dakwaan Cuan Rp809 M
-
Hujan Deras, Luapan Kali Krukut Rendam Jalan di Cilandak Barat
-
Pensiunan Guru di Sumbar Tewas Bersimbah Darah Usai Salat Subuh
-
Mendagri: 106 Ribu Pakaian Baru Akan Disalurkan ke Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Angin Kencang Tumbangkan Pohon di Ragunan hingga Tutupi Jalan
-
Pohon Tumbang Timpa 4 Rumah Warga di Manggarai
-
Menteri Mukhtarudin Lepas 12 Pekerja Migran Terampil, Transfer Teknologi untuk Indonesia Emas 2045
-
Lagi Fokus Bantu Warga Terdampak Bencana, Ijeck Mendadak Dicopot dari Golkar Sumut, Ada Apa?
-
KPK Segel Rumah Kajari Bekasi Meski Tak Ditetapkan sebagai Tersangka