Suara.com - Insentif mobil listrik berbasis (battery electric vehicle/BEV) akan berakhir pada akhir 2025 jika sesuai aturan yang ditetpkan pemerintah.
Meski demikian, Peneliti LPEM UI, Riyanto menilai, ada baiknya insentif mobil listrik tidak dilanjut agar para pemain BEV mulai membangun pabrik di Indonesia.
"BEV impor harusnya stop saja, jangan diperpanjang. Kalau diajukan lagi tentu produksi lokalnya tertunda. Jadi sebaiknya bangun pabrik di Indonesia," ujar Riyanto, dalam diskusi bertajuk 'Polemik Insentif BEV Impor' di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (25 Agustus 2025).
Jadi yang dikhawatirkan, tambah Riyanto, saat ini bila dilihat banyak produsen mobil yang sudah investasi di Indonesia, tapi akhirnya menghadapi masalah di internal.
Karena bila dilihat, mereka sudah investasi cukup banyak. Tapi ada produk lain yang mengisi pasar tersebut.
Karena jika diperpajang juga akan membuat target produksi tidak dapat tercapai. Investasi juga menjadi tertunda kalau di tengah jalan ada kebijakan seperti ini lagi (impor BEV diperpanjang).
"Jadi saya melihat harusnya berhenti. Kalau dibiarkan ini memang tidak sehat dan tidak fair untuk mereka yang sudah terlanjur berinvestasi," tegas Riyanto.
Sejak Februari 2024 pemerintah telah menerapkan insentif berupa pembebasan bea masuk dan PPnBM untuk impor mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) dalam bentuk utuh (CBU).
Selain itu, berlaku pula ketentuan bank garansi bagi setiap unit impor. Kebijakan ini merupakan turunan Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi atau Kepala BKPM Nomor 1 Tahun 2024, dengan masa berlaku hingga Desember 2025.
Baca Juga: Mobil Listrik China Makin Mudah Dibeli, Konsumen Bisa Pesan Langsung ke Negara Asal
Produsen yang memanfaatkan fasilitas terkait diwajibkan berkomitmen memproduksi kendaraan di dalam negeri setelah impor dengan rasio 1:1. Adapun 31 Maret 2025 ditetapkan sebagai batas akhir pengajuan permohonan insentif impor, sementara 31 Desember 2025 menjadi tenggat impor atau berakhirnya program insentif mobil istrik.
Dengan demikian, pemain BEV yang masih mengimpor kendaraan seperti BYD dan pabrikan lain harus mulai memproduksi di dalam negeri pada 2026 untuk mendapatkan insentif pajak, antara lain pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0% dan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 10%, sehingga tarif PPN yang dibayar hanya 2%.
Berita Terkait
Terpopuler
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- 5 Fakta Viral Kakek 74 Tahun Nikahi Gadis 24 Tahun, Maharnya Rp 3 Miliar!
- Promo Super Hemat di Superindo, Cek Katalog Promo Sekarang
- Tahu-Tahu Mau Nikah Besok, Perbedaan Usia Amanda Manopo dan Kenny Austin Jadi Sorotan
Pilihan
-
Cuma Satu Pemain di Skuad Timnas Indonesia Sekarang yang Pernah Bobol Gawang Irak
-
4 Rekomendasi HP Murah dengan MediaTek Dimensity 7300, Performa Gaming Ngebut Mulai dari 2 Jutaan
-
Tarif Transjakarta Naik Imbas Pemangkasan Dana Transfer Pemerintah Pusat?
-
Stop Lakukan Ini! 5 Kebiasaan Buruk yang Diam-diam Menguras Gaji UMR-mu
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
Terkini
-
4 Rekomendasi Mobil Keluarga Mulai Rp50 Jutaan yang Siap Tenggak Bensin Etanol, Biar Gak Was-was
-
Apakah Pertalite Mengandung Etanol? Simak Deretan Fakta Menarik Ini
-
Sirkuit Sepang Siap Jadi Saksi, Geng CBR Astra Honda di Ambang Sejarah Juara Asia
-
Penjualan Mobil Listrik Mulai Menyusut?
-
Bolehkah Toyota Avanza Minum Bensin Campur Etanol 10 Persen? Begini Menurut Buku Manual
-
Saking Ogah Bayar Pajak Kendaraan, Orang Ini Lebih Rela Bakar Mobil Mewahnya
-
Amanda Manopo Dilamar, Cincin Jadi Sorotan: Harganya Bisa Buat Beli 4 SUV Ini
-
5 Rekomendasi Motor Listrik untuk Ojol yang Cocok Buat Ngebid Seharian
-
Budget Rp5 Jutaan Bisa Dapat Motor Listrik Apa? Ini 6 Rekomendasi yang Worth It Dibeli
-
Apakah Mitsubishi Xpander Aman Pakai BBM Campuran Etanol 10 Persen?