Suara.com - Bencana tsunami Selat Sunda banyak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, pasalnya tsunami tersebut tidak diawali dengan gempa tektonik. Tak hanya BMKG, NASA ternyata juga ikut mengawasi pergerakan Gunung Anak Krakatau.
Teori awal dari para ahli mengatakan bahwa tsunami terjadi bukan karena gempa vulkanik.
Analisis awal mengatakan bahwa longsor seluas 64 hektar dari Gunung Anak Krakatau diduga menjadi penyebab tsunami Selat Sunda. Efek dari tsunami yang tidak terduga itu sangat mematikan.
Data sementara yang didapat pada Selasa (25/12/2018) pukul 13.00 WIB, total korban tewas yang terkena tsunami mencapai 429 orang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa selain korban tewas, sebanyak 1.485 orang juga mengalami luka-luka dan 154 orang dinyatakan hilang.
Mengingat sejarahnya yang sangat mematikan dan aktivitas gunung Anak Krakatau yang sangat aktif, NASA ternyata ikut memantau gunung aktif satu ini.
Menggunakan satelit EO-1 (Earth Observing-1), Anak Krakatau dan puluhan gunung berapi lainnya ikut dipantau oleh NASA.
Mengingat sejarahnya juga pernah ''menutupi'' daerah Eropa, NASA ikut memantau perkembangan gunung ini.
Gunung Anak Krakatau terbentuk dari salah satu ledakan terkuat yang pernah ada dalam sejarah yang dikenal dengan ledakan Gunung Krakatau. Gunung itu meledak pada tanggal 23 Agustus 1883.
Ledakannya setara dengan 3.000 bom atom Hiroshima atau 26 kali lebih kuat dari bom hidrogen terkuat saat ini.
Tsunami setinggi 100 kaki atau 30,5 meter langsung tercipta setelah ledakan terjadi.
Ledakan Gunung Krakatau tersebut melemparkan batu apung sejauh 5.331 kilometer 10 hari kemudian.
Korban yang tewas mencapai 36.489 orang dan ledakan itu berhasil menghilangkan 165 desa serta hampir menghancurkan 132 desa lainnya.
Dalam penjelasan detail di situs resmi NASA, gunung Anak Krakatau merupakan laboratorium alami untuk menyaksikan perkembangan suatu ekosistem.
Semua tanaman yang terlihat tumbuh di pulau sekitar gunung Anak Krakatau berasal dari biji yang melayang di laut.
Berita Terkait
-
NASA: Batuan Purba Kawah Jezero Simpan Petunjuk Kehidupan di Mars
-
Rover Perseverance NASA Temukan Petunjuk Baru Kehidupan Purba di Mars
-
CEK FAKTA: Benarkah NASA Konfirmasi Ledakan Besar Gunung Aktif di Bumi Tahun 2025?
-
CEK FAKTA: Benarkah NASA Konfirmasi Ledakan Besar Gunung Aktif di Bumi 2025?
-
Ketika Bumi tak Lagi Menarik, AS dan China Kini Rebutan Lahan di Bulan
Terpopuler
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Pemain Keturunan Rp 20,86 Miliar Hubungi Patrick Kluivert, Bersedia Bela Timnas Oktober Nanti
- Ameena Akhirnya Pindah Sekolah Gegara Aurel Hermanyah Dibentak Satpam
- Cara Edit Foto yang Lagi Viral: Ubah Fotomu Jadi Miniatur AI Keren Pakai Gemini
- Ramai Reshuffle Kabinet Prabowo, Anies Baswedan Bikin Heboh Curhat: Gak Kebagian...
Pilihan
-
Dugaan Korupsi BJB Ridwan Kamil: Lisa Mariana Ngaku Terima Duit, Sekalian Buat Modal Pilgup Jakarta?
-
Awas Boncos! 5 Trik Penipuan Online Ini Bikin Dompet Anak Muda Ludes Sekejap
-
Menkeu Purbaya Sebut Mulai Besok Dana Jumbo Rp200 Triliun Masuk ke Enam Bank
-
iPhone di Tangan, Cicilan di Pundak: Kenapa Gen Z Rela Ngutang Demi Gaya?
-
Purbaya Effect, Saham Bank RI Pestapora Hari Ini
Terkini
-
Baterai iPhone 17 Ternyata Masih Kalah dari HP Murah Samsung
-
4 Rekomendasi HP Infinix Murah untuk Pelajar yang Hobi Fotografi
-
Apple Watch SE 3 Resmi: Debut Jam Tangan 'Murah' Setelah 3 Tahun Absen
-
3 HP Huawei Terbaik Punya Performa Andal dengan Kamera Jernih
-
Dari Meja Kerja ke Medan Tempur: Cara Bikin Miniatur AI Edisi Perang yang Epik
-
Apple Watch Ultra 3: Jam Tangan Seharga iPhone dengan Konektivitas Satelit dan 5G
-
Hasil Miniatur AI Jelek? Jangan Salahkan AI-nya! Kunci Utamanya Ada di Foto Pilihanmu
-
iPhone 17 Dipastikan Masuk Indonesia Bulan Depan
-
Huawei Pura 80 Ultra Harga Berapa? Kameranya Bikin iPhone Insecure
-
Siap Debut di Indonesia, Huawei Pura 80 Diklaim Jadi HP dengan Kamera Terbaik Versi DXOMARK