Suara.com - Kebijakan pemerintah menunda pemberian izin operasi untuk perkebunan kelapa sawit melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 berakhir pada 19 September 2021. Meski sudah sampai di ujung masa berlaku, kebijakan ini dianggap belum manjur membenahi tata kelola sawit maupun meningkatkan produktivitasnya.
Adapun kebijakan itu berisi perintah bagi kementerian dan lembaga untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kepatuhan perizinan sawit, terutama yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Muatan lainnya adalah perintah untuk mempercepat pelepasan 20% lahan dari izin-izin sawit yang ada kepada masyarakat. Program peremajaan tanaman (replanting) juga menjadi prioritas pemerintah untuk peningkatan produksi sawit.
Hingga saat ini, pemerintah belum menerbitkan keputusan untuk melanjutkan ataupun pemberhentian kebijakan tersebut.
Jauh panggang dari api
Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, menganggap kebijakan moratorium dan pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Sebab, pemerintah sedari awal tak menerapkan indikator keberhasilan yang menjadi tolok ukur kelanjutan kebijakan itu.
Sejauh ini pemerintah baru mengumumkan hasil identifikasi luas tutupan lahan perkebunan sawit versi citra satelit sebanyak 16,3 juta hektare di 26 provinsi. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan luas yang terangkum dalam daftar perizinan sawit sebesar 14 juta hektare.
Masalahnya, kata Hariadi, sampai saat ini belum terlihat upaya tindak lanjut pemerintah untuk menyelesaikan persoalan luasan lahan tersebut. Publik juga belum mengetahui apakah pemerintah menjatuhkan sanksi bagi pemegang izin bermasalah, ataupun bagi penerima manfaat dari perkebunan ilegal.
Waktu tiga tahun pelaksanaan moratorium sejak 2019 semestinya lebih dari cukup untuk memulai upaya pembenahan tata kelola perkebunan kelapa sawit. Namun, upaya itu masih senyap.
Baca Juga: Dirjenbun Kementan Gelar Sosialisasi Penelitian dan Pengembangan Kelapa Sawit
“Semestinya dalam konteks moratorium, tiga tahun kemarin (masalah) itu dibereskan,” ujar dia.
Selain urusan tata kelola, janji pemerintah untuk peremajaan perkebunan sawit belum tuntas. Sejak program replanting dilaksanakan Kementerian Pertanian bersama Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit enam tahun lalu, kemajuannya selalu di bawah target.
Walhasil, produktivitas perkebunan sawit masyarakat masih rendah. Rata-rata per kebun sawit rakyat hanya menghasilkan 3,16 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit per hektare saban tahun. Angka ini hampir dua kali lipat lebih rendah dibanding Malaysia yang mampu menghasilkan 6 ton TBS per hektare setiap tahun.
Koordinasi pusat-daerah dalam evaluasi izin sawit juga masih menjadi pekerjaan rumah. Berdasarkan informasinya yang diterima Hariadi, baru 10 dari 234 otoritas daerah yang melaksanakan kebijakan moratorium. Sebagian besar di antaranya pun menunggu kepastian terkait penundaan tersebut.
Sejauh ini baru Pemerintah Papua Barat yang melakukan evaluasi tata kelola sawit besar-besaran bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses itu–yang juga melibatkan Hariadi–mendapati lebih dari 20 izin bermasalah, Sebanyak 12 izin seluas 267 ribu hektare di antaranya telah dicabut.
Hariadi meminta pemerintah melanjutkan kebijakan penundaan pemberian izin sawit baru. Penundaan itu pun harus dibarengi dengan langkah drastis membenahi tata kelola sawit–salah satu komoditas unggulan tanah air.
Berita Terkait
-
Tambang Emas Termasuk Tiga Klaster Pemicu Parahnya Banjir Sumatera Utara
-
Sawit Bikin Sewot: Kenapa Dibilang Bukan Pohon, Jadi Biang Kerok Banjir Sumatra?
-
Menkeu Purbaya Ingin Kelapa Sawit Tetap Jadi Tulang Punggung Industri Indonesia
-
Emiten Kelapa Sawit MKTR Raup Laba Bersih Rp 36,78 Miliar di Kuartal III-2025
-
Indonesia Ngebut Kejar Tarif Nol Persen dari AS, Bidik Kelapa Sawit Hingga Karet!
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
29 Kode Redeem FC Mobile 16 Desember 2025: Klaim Desailly Gratis dan Paket Record Breaker
-
5 HP RAM 16 GB Rp2 Jutaan, Murah tapi Spek Gahar Kecepatan Super
-
Motorola Edge 70 Tersedia di Pasar Asia: Bodi Tipis 6 mm, Harga Lebih Murah
-
Mengatasi Tampilan Terlalu Besar: Panduan Mengecilkan Ukuran di Komputer
-
Deretan Karakter Game di Film Street Fighter 2026: Ada 'Blanka' Jason Momoa
-
51 Kode Redeem FF Terbaru 15 Desember 2025, Klaim Dream Dive Animation Gratis
-
Spesifikasi Oppo Reno 15c: Resmi dengan Snapdragon 7 Gen 4, Harga Lebih Miring
-
21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 15 Desember 2025, Klaim Desailly OVR 105 Gratis
-
8 Tablet Murah Terbaik untuk Kerja Desember 2025, Mulai Rp1 Jutaan!
-
Bye-Bye Wi-Fi! 5 Tablet RAM 8GB Terbaik Dilengkapi dengan SIM Card, Kecepatan Ngebut!