Suara.com - Google membuat kebijakan tegas terkait aplikasi apa saja yang bisa masuk ke Play Store. Mereka mengungkap bahwa perusahaan telah menolak 2,28 juta aplikasi selama 2023 lalu.
Penolakan itu disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pelanggaran kebijakan serta aturan terkait privasi. Perusahaan turut melarang 333 ribu akun bereputasi buruk dari Google Play karena pelanggaran malware.
Selain itu, mereka menolak 200 ribu pengajuan aplikasi untuk memastikan penggunaan izin sensitif yang tepat, seperti lokasi latar belakang dan akses ke SMS atau kontak.
Dikutip dari MySmartPrice, Google telah memperkuat prosedur orientasi dan peninjauan pengembangnya. Artinya, pengembang harus memberikan lebih banyak informasi identitas terlebih dahulu untuk membuat akun Google Play mereka.
"Pengalaman Google Play yang aman dan tepercaya adalah prioritas," tulis perwakilan dari Tim Keamanan dan Privasi Android. Melalui postingan yang diunggah pada blog resmi akhir April lalu, mereka memanfaatkan prinsip SAFE untuk menyediakan kerangka kerja guna menciptakan pengalaman tersebut bagi pengguna dan pengembang. Prinsip tersebut mencakup:
- (S atau Safe) Melindungi Pengguna kami: Bantu mereka menemukan aplikasi berkualitas yang dapat mereka percayai.
- (A atau Advocate) Menganjurkan Perlindungan Pengembang: Membangun perlindungan platform untuk memungkinkan pengembang fokus pada pertumbuhan.
- (F atau Foster) Mendorong Inovasi yang Bertanggung Jawab: Membuka nilai bagi semua orang tanpa mengorbankan keselamatan pengguna.
- (E atau Evolve) Melibatkan Pertahanan Platform: Tetap terdepan dalam menghadapi ancaman yang muncul dengan mengembangkan kebijakan, alat, dan teknologi kami.
Google juga telah menghapus 1,5 juta aplikasi dari Play Store yang belum diperbarui. Ini dilakukan agar aplikasi berfungsi dengan versi Android terbaru bagi orang-orang yang telah memperbarui ponselnya.
Akibat insiden besar ini, raksasa teknologi tersebut memulai tindakan hukum terhadap dua pengembang aplikasi yang berulang kali berupaya mengunggah aplikasi investasi palsu dan pertukaran mata uang kripto. Dua developer itu ternyata bertujuan untuk menipu pengguna.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Registrasi Kartu SIM Gunakan Biometrik, Pakar Ungkap Risiko Bocor yang Dampaknya Seumur Hidup
-
Rencana Registrasi SIM Pakai Data Biometrik Sembunyikan 3 Risiko Serius
-
Indosat Naikkan Kapasitas Jaringan 20%, Antisipasi Lonjakan Internet Akhir Tahun
-
Anugerah Diktisaintek 2025: Apresiasi untuk Kontributor Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
-
26 Kode Redeem FC Mobile 20 Desember 2025: Trik Refresh Gratis Dapat Pemain OVR 115 Tanpa Top Up
-
50 Kode Redeem FF 20 Desember 2025: Klaim Bundle Akhir Tahun dan Bocoran Mystery Shop
-
Imbas Krisis RAM, Berapa Harga iPhone 2026? Bakal Meroket, Ini Prediksinya
-
Mendagri Tito Viral Usai Komentari Bantuan Malaysia, Publik Negeri Jiran Kecewa
-
Panduan Mudah: Cara Memblokir dan Membuka Blokir Situs Internet di Firefox
-
Ponsel Murah Terancam Punah Tahun 2026, Apa itu Krisis RAM?