Konflik ini juga mempercepat tren perdagangan global yang mengkhawatirkan, termasuk “friend-shoring” oleh ekonomi Barat yang berupaya mengurangi ketergantungan pada kawasan rawan konflik. Meski Indonesia berpeluang mendapat keuntungan dari cadangan nikelnya yang besar—menyumbang 40% permintaan global untuk baterai kendaraan listrik—negara ini juga harus menghadapi hambatan perdagangan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang dapat menaikkan biaya kepatuhan eksportir sebesar 8-12%.
Ketahanan pangan juga menjadi perhatian yang meningkat. Kekurangan berkepanjangan dapat mengurangi hasil panen padi sebesar 10-15%, mengancam kemajuan swasembada yang baru dicapai. Impor gandum, yang mencapai 11 juta metrik ton per tahun, juga berisiko, dengan 60% berasal dari wilayah dekat zona konflik. Hal ini telah berkontribusi pada kenaikan harga roti sebesar 8%, semakin membebani anggaran rumah tangga.
Ketahanan pangan juga menjadi perhatian. Indonesia mengimpor pupuk dan bahan baku pupuk berbasis NPK, seperti fosfat, perkiraan sekitar 64% di antaranya berasal dari Mesir yang terletak strategis di kawasan Timur Tengah. Selain Mesir, Indonesia juga mengimpor sejumlah kecil bahan baku pupuk dari negara-negara Timur Tengah lainnya. Meskipun volume impor dari negara-negara tersebut relatif kecil, potensi dampaknya tetap signifikan apabila terjadi konflik di kawasan tersebut.
Konflik di Timur Tengah dapat mengganggu rantai pasok global, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan lonjakan harga pupuk di dalam negeri dan mempengaruhi sektor pertanian nasional. Kekurangan berkepanjangan dapat mengurangi hasil panen padi sebesar 10-15%, mengancam kemajuan swasembada yang baru dicapai saat ini.
Kemenperin juga memandang konflik Timur Tengah ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat hilirasi dan kemandirian industri dalam negeri. “Di tengah tantangan global, justru terbuka ruang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan produk energy dan pangan luar negeri. Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi dan pangan Indonesia,” tegas Agus.
Menurutnya, dukungan pemerintah akan terus diberikan dalam bentuk insentif, fasilitasi investasi, hingga kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih efisien dan berdaya saing tinggi.
“Ketahanan pangan dan energi bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri. Dan industri manufaktur Indonesia harus jadi garda terdepan untuk mewujudkannya,” tegasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Pilihan Baru BBM Ramah Lingkungan, UltraDex Setara Standar Euro 5
-
Pelanggan Pertamina Kabur ke SPBU Swasta, Kementerian ESDM Masih Hitung Kuota Impor BBM
-
Kementerian ESDM Larang SPBU Swasta Stop Impor Solar di 2026
-
59 Persen Calon Jamaah Haji Telah Melunasi BIPIH Melalui BSI
-
Daftar Lengkap Perusahaan Aset Kripto dan Digital yang Dapat Izin OJK
-
CIMB Niaga Syariah Hadirkan 3 Produk Baru Dorong Korporasi
-
Negara Hadir Lewat Koperasi: SPBUN Nelayan Tukak Sadai Resmi Dibangun
-
Kemenkop dan LPDB Koperasi Perkuat 300 Talenta PMO Kopdes Merah Putih
-
Kantor Cabang Bank QNB Berguguran, OJK Ungkap Kondisi Karyawan yang Kena PHK
-
Sepekan, Aliran Modal Asing ke Indonesia Masuk Tembus Rp240 Miliar