Suara.com - Dr. Stefanus dikabarkan meninggal dunia akibat Brugada Syndrome, penyakit kelainan genetik pada pembuluh darah di koroner. Untuk mengetahui lebih jauh penyakit yang diduga merenggut nyawa Stefanus, yuk simak pemaparannya!
Sindrom Brugada pertama kali dijelaskan pada tahun 1992 oleh saudara laki-laki Brugada. Sindrom Brugada merupakan gangguan jantung yang sangat serius, dan menyebabkan irama atau detak jantung menjadi terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur. Kondisi ini membuat jantung tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh secara optimal, hingga berdampak fatal dan bisa mengancam nyawa seseorang.
Sindrom Brugada merupakan salah satu penyebab utama kasus kematian mendadak pada anak muda yang dinyatakan sehat, dan tidak mengalami gangguan jantung. Kasus kematian yang disebabkan oleh sindrom Brugada sering terjadi secara tiba-tiba, tanpa menujukkan gejala sama sekali.
Sindrom Brugada merupakan penyakit langka, di mana mayoritas penderitanya adalah orang-orang Jepang dan Asia Tenggara. Banyak yang menduga penyakit ini disebabkan faktor genetik, atau penyakit yang diturunkan oleh keluarga. Fakta membuktikan, penyakit ini lebih sering terjadi pada lelaki berusia remaja, dan dewasa.
Penyakit yang satu ini sangat tinggi di Asia Tenggara, di mana sebelumnya telah digambarkan sebagai Sindrom Kematian Nokturnal Mendadak yang Tidak Dapat dijelaskan (SUNDS).
Penyakit ini memiliki istilah berbeda di setiap negara. Di Filipina dikenal sebagai bangungut (naik dan mengerang saat tidur), di Jepang sebagai Pokkuri (fenomena tiba-tiba terserang dan tiba-tiba berhenti), dan di Thailand sebagai Lai Tai (kematian saat tidur). Usia rata-rata kematian mendadak dari Sindrom Brugada ini adalah 41 tahun, dengan usia diagnosis mulai dari dua hari sampai 84 tahun.
Untuk mengetahui apa dan bagaimana mengenali gejala penyakit yang satu ini, berikut pemaparannya dari Lifeinthefastlane:
Gejala
Kemunculan sindrom Brugada seringkali tidak menunjukkan gejala. Penyakit ini umumnya baru terdeteksi saat seseorang melakukan tes elektrokardiogram (EKG).
Namun, pada beberapa orang, sindrom Brugada dapat menunjukkan gejala yang tidak jauh berbeda dengan penderita penyakit jantung lainnya, antara lain, sesak napas, detak jantung tidak beraturan (palpitasi), demam tinggi, kejang dan pingsan.
Penyebab
Seseorang dengan sindrom Brugada memiliki struktur atau bentuk jantung yang normal. Namun, mereka mengalami masalah pada ion-ion yang mengatur aktivitas elektrik di dalam jantung.
Setiap sel otot jantung memiliki kanal ion yang berfungsi mengalirkan senyawa seperti natrium, kalsium, dan kalium untuk keluar dan masuk otot jantung. Ketiga ion inilah yang mengendalikan kinerja elektrik jantung, sehingga jantung dapat berkontraksi, dan menjalankan fungsinya sebagai pemompa darah pada tubuh.
Pada sindrom Brugada, terjadi kerusakan pada kanal ion jantung. Sehingga aliran elektrik jantung menjadi tidak teratur. Akibatnya, jantung akan berkontraksi dengan ritme yang sangat cepat dan darah tidak mampu dipompa secara efektif ke seluruh tubuh.
Jika terjadi hanya sesaat, pasien biasanya akan pingsan atau kehilangan kesadaran secara sementara. Namun, jika irama jantung ini tetap tidak normal dalam beberapa menit, penderita akan mengalami serangan jantung.
Beberapa penelitian telah dikembangkan untuk mencari tahu kelainan genetik yang mendasari penyakit ini. Hampir sepertiga kasus sindrom Brugada disebabkan mutasi pada gen SCN5A. Dalam kondisi normal, gen ini berfungsi untuk mengatur aliran ion natrium di jantung. Pada saat terjadi mutasi, jumlah ion natrium akan menurun sehingga aktivitas kontraksi jantung pun menjadi terganggu.
Sindrom Brugada umumnya dialami karena keturunan. Namun, ada beberapa faktor lain yang bisa memicu penyakit ini, di antaranya sering menggunakan kokain; memiliki kandungan kalsium yang tinggi di dalam darah; memakai obat-obatan untuk mengatasi tekanan darah tinggi, depresi, dan nyeri dada; serta memiliki kadar kalium yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Diagnosis
Untuk mendiagnosis sindrom Brugada, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik yang disertai beberapa tes seperti:
- Elektrokardiogram (EKG). Tes ini dilakukan untuk merekam aktivitas elektrik di dalam jantung dan memastikan apakah ada kelainan pada detak jantung.
- Studi Elektropsikologi (EPS). Jika hasil EKG menunjukkan bahwa pasien positif mengidap sindrom Brugada, tes EPS dilakukan untuk memudahkan dokter dalam mengetahui penyebab dan menentukan tipe pengobatan penyakit ini.
- Tes genetika. Dokter akan mengambil sampel darah dan memeriksanya untuk memastikan apakah ada faktor genetika yang menyebabkan sindrom Brugada.
Baca Juga: Dokter Stefanus Selama Ini Dikenal Sosok yang Ramah
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Body Lotion di Indomaret untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Rawat Garis Penuaan
- 7 Rekomendasi Lipstik Transferproof untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp20 Ribuan
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 November: Ada Beckham 111, Magic Curve, dan Gems
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 6 Tablet RAM 8 GB Paling Murah untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp2 Jutaan
Pilihan
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
-
Catatan Gila Charly van Oosterhout, Pemain Keturunan Indonesia di Ajax: 28 Laga 19 Gol
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Terbaru Update Satgas PASTI OJK: Ada Pindar Terkenal
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
Terkini
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda