Suara.com - Sulit Menerima Kekalahan Memicu Gangguan Emosi? Ini Kata Pakar
Masih jelas di ingatan kita bagaimana kerusuhan yang terjadi 21-22 Mei lalu menyisakan duka dan ketakutan. Korban-korban berjatuhan, dan warga Ibukota pun memilih menghindari daerah-daerah yang rusuh.
Peristiwa ini tak lepas dari hasil Pemilu yang diumumkan KPU pada 21 Mei malam. Pasangan capres Prabowo - Sandiaga yang tak menerima hasil penghitungan KPU, memobilisasi massa dan meminta pemilu diulang.
Muncul pertanyaan, apakah sulit menerima kekalahan bisa memicu gangguan emosi pada jiwa seseorang?
Disampaikan Direktur Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan (RSJSH) Grogol, dr Laurentius Panggabean, Sp.KJ, MKK, jawabannya belum tentu. Menurut dia, kita tidak bisa menilai seseorang mengalami gangguan jiwa atau tidak hanya dengan interpretasi perilaku di satu momen saja.
"Kalau disebut gangguan apa tidak, kita nggak bisa jawab. Tapi kalau terminologi begitu yakinnya dia meski sudah dihadapkan dengan kenyataan. Tapi kan antara orang yang yakin dengan orang yang gangguan susah membuktikannya. Kita tidak bisa katakan itu gangguan jiwa," ujar dr Laurentius pada Suara.com, Jumat (24/5/2019) di RSJSH Grogol.
Meski demikian dr Laurentius mengaku bahwa memang ada masalah emosi yang terjadi ketika seseorang tidak mau menerima kekalahan. Namun ia tak bisa menyebut hal itu gangguan jiwa.
Ia mencontohkan para pahlawan juga rela bertaruh nyawa demi negara. Tentu bukan berarti para pahlawan memiliki gangguan emosi sehingga rela mempertaruhkan nyawanya.
Baca Juga: Gangguan Jiwa Bukan Halangan Lelaki Ini Luncurkan Lima Novel
"Tapi tidak mudah mengatakan sakit ya. Kita anggap dia gangguan. Kita nggak boleh. Meskipun bisa saja ada orang yang mengatakan fenomena seperti itu. Orang bisa mengait-ngaitkan tapi sebenarnya nggak bisa. Misalnya pahlawan kan dia mau menyerahkan nyawanya demi negara tapi gabisa bilang dia gangguan jiwa kan," tambahnya.
Dr Laurentius tak mau lebih jauh berkomentar mengenai respon massa di aksi 22 Mei kemarin. Menurut dia ada banyak faktor eksternal yang bisa mendorong seseorang melakukan hal di luar kendalinya.
"Kadang kita nggak bisa menilai hanya dengan melihat dan menginterpretasikan karena syarat juga dengan muatan-muatan lain. Kalau kita ngomong bisa diplintir. Kalau dijelaskan tapi tidak seperti itu sebenarnya. Emosi itu at the moment," tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- Promo Superindo Hari Ini 10-13 November 2025: Diskon Besar Awal Pekan!
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
Pilihan
-
Tekad Besar Putu Panji Usai Timnas Indonesia Tersingkir di Piala Dunia U-17 2025
-
Cek Fakta: Viral Isu Rektor UGM Akui Jokowi Suap Rp100 Miliar untuk Ijazah Palsu, Ini Faktanya
-
Heimir Hallgrimsson 11 12 dengan Patrick Kluivert, PSSI Yakin Rekrut?
-
Pelatih Islandia di Piala Dunia 2018 Masuk Radar PSSI Sebagai Calon Nahkoda Timnas Indonesia
-
6 HP RAM 8 GB Paling Murah dengan Spesifikasi Gaming, Mulai Rp1 Jutaan
Terkini
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda
-
Kesehatan Perempuan dan Bayi jadi Kunci Masa Depan yang Lebih Terjamin
-
8 Olahraga yang Efektif Menurunkan Berat Badan, Tubuh Jadi Lebih Bugar
-
Cara Efektif Mencegah Stunting dan Wasting Lewat Nutrisi yang Tepat untuk Si Kecil
-
Kisah Pasien Kanker Payudara Menyebar ke Tulang, Pilih Berobat Alternatif Dibanding Kemoterapi
-
Pengobatan Kanker dengan Teknologi Nuklir, Benarkah Lebih Aman dari Kemoterapi?
-
Data BPJS Ungkap Kasus DBD 4 Kali Lebih Tinggi dari Laporan Kemenkes, Ada Apa?
-
Camping Lebih dari Sekadar Liburan, Tapi Cara Ampuh Bentuk Karakter Anak