Suara.com - Pada 2016 lalu, media Quartz menerbitkan sebuah artikel tentang kram menstruasi yang sebagian besar membuat perempuan sengsara. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa rasa sakit menstruasi sama parahnya dengan serangan jantung.
Ungkapan dari John Guillebaud, profesor kesehatan reproduksi di University College London ini pun mejadi perhatian. Bahkan, artikel berisi sama yang ditulis oleh media lain pun cukup viral saat seorang pengguna Twitter menyebarkannya.
"Retweet jika kau sudah mengetahuinya," tulis seorang pengguna @kittenqueen, yang juga menyertakan tautan artikel tersebut di cuitannya. Setidaknya hingga kini ada 83,2 ribu retweet dan 83,4 ribu komentar.
Tetapi, seorang ginekolog penulis blog kesehatan perempuan populer dr. Jen Gunter, mempertanyakan perbandingan tersebut. Dalam unggahannya, ia justru menulis bahwa kram menstruasi tidak seharusnya dibandingkan dengan apapun, termasuk serangan jantung.
"Serangan jantung sering menghasilkan gejala yang samar-samar atau sakit ringan, itulah sebabnya banyak orang yang mengabaikannya. Banyak orang yang mengira mereka mengalami gangguan pencernaan," tulisnya dalam drjengunter.com.
Selain itu, 40% perempuan tidak merasakan sakit saat serangan jantung. Katanya, akan berbahaya bagi perempuan apabila mereka berpikir serangan jantung harus atau setidaknya sama parahnya dengan kram menstruasi.
Artinya, perempuan menjadi tidak waspada dengan serangan ini.
Selain rasa sakit, gejala serangan jantung juga termasuk sesak napas, perasaan pusing, mual, muntah, dan kelelahan yang tidak dapat dijelaskan, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).
Tetapi, disminore primer atau masa saat menstruasi begitu menyakitkan juga selalu membuat sakit.
Baca Juga: Otak Wanita Alami Perubahan selama Menstruasi, Ini Keuntungannya!
Rasa sakit saat menstruasi terjadi karena zat yang disebut sebagai prostaglandin. Zat ini akan dilepaskan dari lapisan rahim, membuat rahim kontraksi dan peningkatan sinyal nyeri.
Zat ini juga membuat beberapa perempuan (60%) merasa mual, muntah dan diare.
Selama kontraksi ini, tekanan pada rahim bisa sama tingginya dengan selama tahap 'mendorong' dalam persalinan, jelas Gunter.
"Jadi, jika Anda membutuhkan analogi untuk menggambarkan masa haid, bayangkan saat melahirkan atau memotong jari tanpa obat bius," ujar Gunter.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 7 Parfum Wangi Bayi untuk Orang Dewasa: Segar Tahan Lama, Mulai Rp35 Ribuan Saja
- 3 Pelatih Kelas Dunia yang Tolak Pinangan Timnas Indonesia
Pilihan
-
Purbaya Gregetan Soal Belanja Pemda, Ekonomi 2025 Bisa Rontok
-
Terjerat PKPU dan Terancam Bangkrut, Indofarma PHK Hampir Seluruh Karyawan, Sisa 3 Orang Saja!
-
Penculik Bilqis Sudah Jual 9 Bayi Lewat Media Sosial
-
Bank BJB Batalkan Pengangkatan Mardigu Wowiek dan Helmy Yahya Jadi Komisaris, Ada Apa?
-
Pemain Keturunan Jerman-Surabaya Kasih Isyarat Soal Peluang Bela Timnas Indonesia
Terkini
-
Kisah Pasien Kanker Payudara Menyebar ke Tulang, Pilih Berobat Alternatif Dibanding Kemoterapi
-
Pengobatan Kanker dengan Teknologi Nuklir, Benarkah Lebih Aman dari Kemoterapi?
-
Data BPJS Ungkap Kasus DBD 4 Kali Lebih Tinggi dari Laporan Kemenkes, Ada Apa?
-
Camping Lebih dari Sekadar Liburan, Tapi Cara Ampuh Bentuk Karakter Anak
-
Satu-satunya dari Indonesia, Dokter Ini Kupas Potensi DNA Salmon Rejuran S di Forum Dunia
-
Penyakit Jantung Masih Pembunuh Utama, tapi Banyak Kasus Kini Bisa Ditangani Tanpa Operasi Besar
-
Nggak Sekadar Tinggi Badan, Ini Aspek Penting Tumbuh Kembang Anak
-
Apoteker Kini Jadi Garda Terdepan dalam Perawatan Luka yang Aman dan Profesional
-
3 Skincare Pria Lokal Terbaik 2025: LEOLEO, LUCKYMEN dan ELVICTO Andalan Pria Modern
-
Dont Miss a Beat: Setiap Menit Berharga untuk Menyelamatkan Nyawa Pasien Aritmia dan Stroke