Suara.com - Terapi hormon transgender merupakan terapi yang memberikan hormon seks dan obat-obatan hormonal lainnya kepada transgender maupun orang yang memiliki variansi gender. Terapi ini juga disebut terapi hormon lintas seks.
Transgender harus melakukan terapi hormon ini agar karakteristik seksual sekundernya menjadi lebih sesuai dengan identitas gender yang diinginkan.
Terapi hormon pada pria dan wanita transgender ini sebagai bagian dari proses transisi mereka. Dilansir dari Amegroups.com, testosteron eksogen digunakan pada pria transgender untuk menginduksi virilisasi dan menekan karakteristik feminisasi.
Sedangkan wanita transgender akan mendapat terapi hormon estrogen eksogen untuk membantu feminisasi pasien dan anti-androgen digunakan untuk membantu menekan sisi maskulinnya.
Namun, terapi hormon ini tidak bisa dilakukan sembarang. Terapi hormon cross-sex telah terbukti memiliki efek fisik dan psikologis pada individu.
Asosiasi Profesional Dunia untuk Kesehatan Transgender (WPATH) pun menyarankan terapi hormon dilakukan setelah penilaian psikososial dari individu selesai. Dalam hal ini, pasien sudah mendapat rujukan dari profesional kesehatan mental yang berkualifikasi.
Sebab, terapi hormon ini akan memengaruhi emosional dan psikologi laki-laki atau perempuan yang berlawanan dengan jenis kelamin biologis seseorang.
Beberapa pasien mungkin membutuhkan perawatan kesehatan mental tambahan karena melakukan terapi hormon lintas seks.
Selain itu dilansir oleh NBC News, mereka yang menjalani terapi hormon lebih berisiko tinggi mengalami masalah kardiovaskular, seperti stroke, pembekuan darah dan serangan jantung. Kondisi ini paling berisiko pada wanita transgender.
Baca Juga: Hamil Cepat setelah Alami Preeklamsia Bisa Memicu Kelahiran Prematur
Penelitian telah membuktikan dengan meninjau catatan medis dari 5.000 pasien transgender selama 8 tahun. Mereka mengamati pasien di atas usia 18 tahun yang menggunakan hormon untuk transisi gender.
Hasilnya, wanita transgender yang melakukan terapi hormon berisiko 80 hingga 90 persen lebih mungkin mengalami stroke atau serangan jantung daripada wanita tulen.
Pada intinya, terapi hormon bisa berdampak positif pada kehidupan pasien, tetapi adapula implikasi metabolik dari terapi hormon yang harus dipertimbangkan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
- Kompetisi Menulis dari AXIS Belum Usai, Gemakan #SuaraParaJuara dan Dapatkan Hadiah
- Ini 5 Shio Paling Beruntung di Bulan Oktober 2025, Kamu Termasuk?
- Rumah Tangga Deddy Corbuzier dan Sabrina Diisukan Retak, Dulu Pacaran Diam-Diam Tanpa Restu Orangtua
Pilihan
-
Dari Puncak JI ke Pangkuan Ibu Pertiwi: Kisah Abu Rusydan dan Komitmen Deradikalisasi Negara
-
Evakuasi Ponpes Al-Khoziny: Nihil Tanda Kehidupan, Alat Berat Dikerahkan Diirigi Tangis
-
Statistik Brutal Dean James: Bek Timnas Indonesia Jadi Pahlawan Go Ahead Eagles di Liga Europa
-
Harga Emas Antam Stagnan, Hari Ini Dibanderol Rp 2.235.000 per Gram
-
Poin-poin Utama UU BUMN: Resmi Disahkan DPR RI, Selamat Tinggal Kementerian BUMN
Terkini
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!
-
Produk Susu Lokal Tembus Pasar ASEAN, Perkuat Gizi Anak Asia Tenggara
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!
-
Jantung Sehat, Hidup Lebih Panjang: Edukasi yang Tak Boleh Ditunda
-
Siloam Hospital Peringati Hari Jantung Sedunia, Soroti Risiko AF dan Stroke di Indonesia
-
Skrining Kanker Payudara Kini Lebih Nyaman: Pemeriksaan 5 Detik untuk Hidup Lebih Lama