Suara.com - Pada 1942, seorang pasien bernama Anne Miller membuat riwayat medis. Dia berada di ambang kematian karena infeksi bakteri di dalam darahnya, yang disebut septikemia, ketika dokter mengobatinya dengan obat baru, penisilin.
Penisilin merupakan antibiotik pertama yang diproduksi secara massal di dunia, dan Miller adalah satu dari banyaknya nyawa yang selamat karena obat ini.
Namun, ilmuwan penemu penisilin pada 1928, Alexander Fleming, secara cepat menyadari bahwa obat ini dapat menyebabkan masalah besar, yaitu resistensi antibiotik.
Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri mengembangkan mekanisme pertahanan baru untuk melawan satu atau beberapa antibiotik.
Bakteri umumnya bereproduksi setiap beberapa jam, dan inilah mengapa mereka mudah beradaptasi dan bermutasi.
Jadi, ketika antibiotik tidak menghilangkan bakteri 100% dari infeksi, sisa yang selamat dapat mengembangkan gen pelindung terhadap obat. Mereka dapat meneruskan gen ini selama reproduksi.
Mengapa ini menjadi masalah?
Dilansir Insider, sebenarnya kematian akibat resistensi antibiotik telah menurun selama dekade terakhir, menurut CDC. Namun, ini tetap menjadi salah stau masalah kesehatan masyarakat.
Di Amerika Serikat, lebih dari 2,8 juta orang terinfeksi patogen resistan antibiotik setiap tahunnya dan lebih dari 35.000 orang meninggal akibatnya.
Baca Juga: Ilmuwan Kembangkan Antibiotik Baru untuk Infeksi Paru karena Covid-19
Resistensi antibiotik tidak hanya mematikan, tetapi juga membuat infeksi umum, seperti ISK, lebih sulit diobati.
"E. coli menyebabkan 80% hingga 90% infeksi saluran kemih, jadi kita menemukan E. coli yang kebal antibiotik," kata farmakologis eksperimental dan klinis di Univerisity of Minnesota, Elizabeth Hirsch.
Tidak hanya infeksi sederhana, operasi dan prosedur invasif lainnya yang meningkatkan risiko infeksi seseorang dapat mencapai titik kritis.
Menurut CDC, semaki banyak infeksi yang berhubungan dengan perawatan kesehatan disebabkan oleh patogen resistan antibiotik.
Apa penyebabnya?
Penggunaan antibiotik berlebihan adalah penyebab utamanya. Dari rumah sakit hingga ke bidang pertanian, seluruh industri perlu mempertimbangkan kembali bagaimana mereka menggunakan antibiotik untuk mengekang proliferasi dan penciptaan bakteri resistan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
-
29 Unit Usaha Syariah Mau Spin Off, Ini Bocorannya
-
Soal Klub Baru usai SEA Games 2025, Megawati Hangestri: Emm ... Rahasia
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
Terkini
-
Gaya Bermain Neymar Jr Jadi Inspirasi Sepatu Bola Generasi Baru
-
Menopause dan Risiko Demensia: Perubahan Hormon yang Tak Bisa Diabaikan
-
Penelitian Ungkap Mikroplastik Memperparah Penyempitan Pembuluh Darah: Kok Bisa?
-
Lari Sambil Menjelajah Kota, JEKATE Running Series 2025 Resmi Digelar
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!