Suara.com - Sebuah tim peneliti di Korea Selatan telah berhasil membuat biosensor berbasis transistor yang menjanjikan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 dalam waktu kurang lebih satu menit.
Dilansir dari Science News, sebagian besar tes diagnostik untuk SARS-CoV-2 mengandalkan teknik RT-PCR yang memperkuat RNA virus dari apusan pasien sehingga sejumlah kecil virus dapat dideteksi.
Namun, metode tersebut membutuhkan setidaknya 3 jam, termasuk langkah untuk menyiapkan RNA virus untuk dianalisis.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Edmond Changkyun Park dan Dr. Seung Il Kim dari Korea Basic Science Institute, Korea Research Institute of Chemical Technology dan University of Science & Technology mengembangkan tes diagnostik yang lebih cepat, yakni Covid-19 FET.
Alat mereka disebut dapat menganalisis sampel pasien langsung dari tabung penyangga berisi penyeka, tanpa langkah persiapan sampel.
Para ilmuwan mendasarkan pengujian mereka pada transistor efek medan (FET), dengan selembar graphene dengan konduktivitas elektronik yang tinggi. Mereka menempelkan antibodi terhadap protein spike SARS-CoV-2 pada graphene.
Dilansir dari The Conversation, graphen merupakan konduktor berbentuk lembaran yang tersusun dari karbon.
Daru Seto Bagus Anugrah, dosen biotechnology Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang tidak terkait dengan penelitian mengatakan, bahwa Covid-19 FET bekerja dengan mendeteksi virus corona baru melalui perubahan arus listrik.
"Ketika mereka memberikan sampel protein spike murni, atau hasil pengembangbiakan virus SARS-CoV-2 ke sensor, atau sampel swab lendir dari pasien Covid-19 maka terjadi ikatan dengan antibodi pada sensor yang menyebabkan arus listrik yang mengalir lebih besar," tulis Anugrah pada The Conversation.
Baca Juga: Hati-hati Bicara, Bintang Emon Belajar dari Kasus Ernest Prakasa dan Uus
"Perubahan arus inilah yang dijadikan para peneliti sebagai indikator keberadaan virus SARS-CoV-2. Kemudian mereka menguji teknik swab nasofaring yang dikumpulkan dari pasien dengan Covid-19 atau kontrol yang sehat. Hasilnya, sensor dapat membedakan antara sampel dari pasien yang sakit dan sehat," tambahnya.
Meskipun begitu, para peneliti menyatakan bahwa tes ini mungkin tidak lebih sensitif dari RT-PCR.
“Tes baru ini sekitar 2-4 kali kurang sensitif daripada RT-PCR, tetapi bahan yang berbeda dapat dieksplorasi untuk meningkatkan sensitivitasnya,” kata para peneliti.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 4 Rekomendasi Cushion dengan Hasil Akhir Dewy, Diperkaya Skincare Infused
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- 5 HP OPPO RAM 8 GB Terbaik di Kelas Menengah, Harga Mulai Rp2 Jutaan
- Daftar Promo Alfamart Akhir Tahun 2025, Banyak yang Beli 2 Gratis 1
Pilihan
-
Seni Perang Unai Emery: Mengupas Transformasi Radikal Aston Villa
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
Terkini
-
Fakta Super Flu, Dipicu Virus Influenza A H3N2 'Meledak' Jangkit Jutaan Orang
-
Gigi Goyang Saat Dewasa? Waspada! Ini Bukan Sekadar Tanda Biasa, Tapi Peringatan Serius dari Tubuh
-
Bali Menguat sebagai Pusat Wellness Asia, Standar Global Kesehatan Kian Jadi Kebutuhan
-
Susu Creamy Ala Hokkaido Tanpa Drama Perut: Solusi Nikmat buat yang Intoleransi Laktosa
-
Tak Melambat di Usia Lanjut, Rahasia The Siu Siu yang Tetap Aktif dan Bergerak
-
Rahasia Sendi Kuat di Usia Muda: Ini Nutrisi Wajib yang Perlu Dikonsumsi Sekarang
-
Ketika Anak Muda Jadi Garda Depan Pencegahan Penyakit Tak Menular
-
GTM pada Anak Tak Boleh Dianggap Sepele, Ini Langkah Orang Tua untuk Membantu Nafsu Makan
-
Waspada! Pria Alami Sperma Kosong hingga Sulit Punya Buat Hati, Dokter Ungkap Sebabnya
-
Standar Global Layanan Kesehatan Kian Ditentukan oleh Infrastruktur Rumah Sakit