Suara.com - Anak adalah harapan setiap orangtua, dan anak adalah investasi di masa mendatang. Tapi pernahkah Anda terpikir, bagaimana dengan nasib anak yang pernah dipenjara atau anak yang harus berhadapan dengan hukum (ABH)?
ABH seringkali dihadapkan pada masa depan suram, mendapat stigma negatif, hingga sulit mendapat kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Padahal menurut Direktur Pusat Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Univeritas Indonesia (PUSKAPA) Santi Kusumaningrum, sebagian besar anak kerap tidak memiliki pilihan, sehingga melakukan perbuatan atau perilaku kejahatan yang berakibat mereka harus berurusan dengan hukum.
"Siapapun mereka, apapun latar belakang mereka, kami percaya kesulitan hidup yang dialami anak, sehingga sebagian tidak punya pilihan lain, selain berperilaku berisiko," ujar Santi dalam diskusi webinar, Rabu (4/11/2020).
"Jadi kalau ada anak melanggar hukum, tidak semata-mata sebagai pilihan rasional anak tersebut," sambungnya.
Keberadaan ABH seolah menyadarkan banyak orang, khususnya orangtua, tentang karakteristik anak yang jauh dari kategori ideal pada umumnya. Di mana anak yang sudah berusia 12 tahun, tapi belum berusia 18 tahun, bisa berhadapan dengan hukum, bahkan harus mendekam di balik jeruji besi.
Padahal, bayangan anak di pikiran banyak orang adalah mereka yang berperilaku polos, hanya tahu bermain dan belajar. Dan mereka sedang menjalani hidup tanpa beban.
"Terkadang perilaku mereka (ABH) membuat kita tersadar ada anak-anak yang mungkin, jauh dari bayangan atau konsepsi anak yang ideal dan baik-baik, anak yang santun dan ada dalam kondisi ideal," jelasnya.
Menurut penelitian yang dilakukan PUSKAPA dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), 90 persen ABH dijatuhi hukuman penjara oleh putusan hakim. Padahal, di dalam penjara lebih dari 50 persen ABH ini mendekam di penjara yang fasilitasnya sama seperti orang dewasa, dan ini sedikit banyaknya bisa menimbulkan dampak negatif.
Baca Juga: Tanggapi Kasus Ayahnya, Atta Halilintar Minta Adik Tirinya Dikembalikan
"Selain ujungnya anak melakukan pelanggaran pidana bukan pilihan rasional mereka, di pangkalnya dilihat juga berbagai dampak negatif dan merugikan, apabila anak terpaksa berada dalam situasi peradilan bahkan pemenjaraan," tutup Santi.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Jemput Weekend Seru di Bogor! 4 Destinasi Wisata dan Kuliner Hits yang Wajib Dicoba Gen Z
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!