Health / Konsultasi
Sabtu, 13 Desember 2025 | 21:08 WIB
Ilustrasi mengalami radang usus buntu (Freepik/freepik)
Baca 10 detik
  • IBD sering disalahartikan sebagai gangguan pencernaan biasa, gejalanya meliputi diare, nyeri perut, dan kelelahan, sehingga memerlukan pemeriksaan menyeluruh untuk diagnosis.
  • IBD dapat menimbulkan komplikasi serius, tetapi pengobatan termasuk terapi biologis dan kepatuhan pasien dapat mengendalikan penyakit.
  • Kesadaran dini dan edukasi publik penting agar pasien IBD dapat mencegah komplikasi dan tetap hidup sehat.

Suara.com - Diare berkepanjangan, nyeri perut, hingga badan mudah lelah kerap dianggap sebagai masalah pencernaan ringan. Padahal, keluhan-keluhan tersebut bisa menjadi tanda awal Inflammatory Bowel Disease (IBD), penyakit radang usus kronis yang hingga kini masih kurang dikenal dan sering terlambat terdiagnosis.

IBD merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan jangka panjang pada saluran cerna. Dua bentuk utamanya adalah Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn, yang meski sama-sama menyerang sistem pencernaan, memiliki karakteristik berbeda. 

Kolitis Ulseratif terbatas pada usus besar dan rektum, sedangkan Penyakit Crohn dapat menyerang seluruh saluran cerna, dari mulut hingga anus, dengan peradangan yang lebih dalam dan tidak merata.

Gejalanya Umum, Dampaknya Bisa Serius

Menurut Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, dokter konsultan gastroenterohepatologi, tantangan terbesar dalam menangani IBD adalah gejalanya yang tidak spesifik. 

Banyak pasien mengalami diare berulang, nyeri atau kram perut, penurunan berat badan tanpa sebab, demam ringan, kelelahan, hingga buang air besar berdarah, namun tidak segera mencari pertolongan medis.

“Karena keluhannya mirip gangguan pencernaan biasa, banyak pasien datang dalam kondisi yang sudah lebih berat. Padahal, IBD bersifat progresif dan dapat menimbulkan komplikasi serius bila tidak ditangani sejak dini,” jelas Prof. Ari dalam rangka edukasi terkait IBD, Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI), dengan didukung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan PT Takeda Indonesia.

Jika tidak terkontrol, IBD dapat memicu komplikasi seperti perdarahan hebat, penyempitan usus, malnutrisi, hingga meningkatnya risiko kanker usus. Oleh karena itu, deteksi dini memegang peranan krusial.

Diagnosis Tidak Sesederhana yang Dibayangkan

Baca Juga: Kenali 5 Gejala Radang Usus Besar yang Dialami oleh Masayu Anastasia

Berbeda dengan sakit maag atau diare akut, diagnosis IBD memerlukan pemeriksaan menyeluruh. Prosesnya dapat meliputi wawancara medis mendalam, pemeriksaan fisik, tes laboratorium, endoskopi, biopsi, serta pemeriksaan pencitraan seperti CT scan atau MRI.

“Pemeriksaan ini penting untuk menentukan jenis IBD, tingkat keparahan, serta terapi yang paling sesuai bagi pasien,” tambah Prof. Ari.

Kabar baiknya, pilihan terapi IBD kini semakin berkembang di Indonesia. Penanganan tidak hanya berfokus pada meredakan gejala, tetapi juga mengendalikan peradangan agar penyakit tetap terkendali dalam jangka panjang. 

Selain obat simptomatik dan terapi konvensional, terapi biologis kini menjadi salah satu opsi penting bagi pasien dengan kondisi tertentu.

Terapi biologis bekerja lebih spesifik menargetkan proses peradangan, namun penggunaannya harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien dan berada di bawah pengawasan dokter.

“Kepatuhan pasien terhadap terapi yang direkomendasikan sangat menentukan kualitas hidup jangka panjang,” tegas Prof. Ari.

Load More