Suara.com - Pakar mengatakan salah satu hambatan utama dalam penanganan gangguan jiwa dan masalah kejiwaan di Indonesia adalah mitos yang menyelebunginya.
Salah satunya, mitos yang menyebut gangguan jiwa terjadi karena masalah mistis, seperti kutukan roh jahat. Inilah yang menjadikan masyarakat masih menganggap orang dengan gangguan jiwa atau gangguan mental sebagai “beban” dan tidak diterima oleh lingkungan masyarakat karena dianggap aneh.
“Karena anggapan-anggapan seperti itu, banyak masyarakat yang memilih untuk menghindar dan menciptakan jarak sosial dengan pasien yang memiliki gangguan mental. Ini yang mempersulit dalam sesi perawatan dan pemulihan,” ujar Psikolog Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta, Widya S. Sari, M.Psi, dikutip dari ANTARA.
Widya menyebutkan menurut data yang dirilis pada 2018, sekitar 450 ribu orang di Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan 2013 dan kini sudah jauh meningkat, terutama pada tahun ini yang dilanda situasi pandemi.
Pendiri Klub “Mental Health Indonesia” di Clubhouse, Detty Wulandari, membagikan pengalamannya selama menjadi penyintas bipolar disorder. Ia pertama kali didiagnosa pada 25 tahun yang lalu pada saat masih tinggal di Australia dan merasakan kesulitan menghadapi stigma ketika dirinya tinggal di Jakarta.
“Salah satu contoh stigma itu adalah pada saat saya dibilang ‘ah kamu ini ternyata kurang bersyukur’. Stigma bahwa orang punya masalah dengan kesehatan mentalnya itu pasti berhubungan dengan keimanan seseorang itu termasuk stigma yang agak-agak gimana gitu,” ujarnya.
Menurut Detty, setidaknya terdapat dua tantangan terbesar dalam isu kesehatan mental, yakni edukasi dan empati. Ia mengatakan diperlukan pemahaman yang lebih holistik dan menyeluruh tentang kesehatan mental bagi masyarakat.
“Pemahaman banyak orang kalau membicarakan kesehatan mental selalu asosiasinya itu ke gangguan-gangguan yang bisa dibilang serius. Padahal kesehatan mental itu termasuk misalnya pada saat kita stres, apakah kita mampu menghadapi stres atau tidak,” katanya.
Ia mengatakan ketika seseorang merasakan stres yang berkepanjangan, merasa tidak produktif dan hasil pekerjaan menurun, serta segala hal yang keluar dari keseimbangan tersebut terasa mengganggu, hal tersebut merupakan sinyal atas kondisi mental yang sedang tidak baik.
Baca Juga: Psikolog UGM Sebut Masih Banyak PR untuk Benahi Sistem Kesehatan Mental di Indonesia
Selain persoalan edukasi, Detty juga menyoroti persoalan empati sebelum menggali lebih jauh terhadap pengetahuan kesehatan mental. Menurutnya, ketika seseorang tidak memiliki rasa empati hal tersebut akan menyulitkan untuk memahami mengenai kesehatan mental.
“Tapi mudah-mudahan, kalau misalnya orang-orang bisa lebih paham dan mengerti, stigma itu akan setidaknya berkurang,” pungkasnya.
Berita Terkait
-
Pulang Umroh, Zaskia Adya Mecca dan Hanung Bramantyo Hadapi Ujian Berat
-
Pelanggan Bawa Kabur Makanan dari Restoran Tanpa Bayar, Diduga Gitaris dan Psikolog
-
Momen Mistis Terjadi saat Alvi Peragakan Mutilasi Pacar Jadi 554 Potong di Surabaya
-
Playground Modern Jadi Solusi Anak Kecanduan Gadget, Ini Kata Psikolog
-
'Gangguan Jiwa' COVID-19: Riset Ungkap Tekanan Mental Akibat Kesepian saat Pandemi
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif