Suara.com - Tingginya angka resistensi antimikroba atau AMR membuat Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI, Dr Harry Paraton, Sp. OG (K), akui seharusnya antibiotik memiliki pengamanan peredaran setara narkotika.
Seperti diketahui, AMR sangat berbahaya karena berisiko menyebabkan kematian. AMR umumnya disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter.
"Makanya ada yang menyetarakan harusnya sistem pengamananya setingkat obat narkotika, keras dan dilarang," tutur Dr Hari dalam acara diskusi INDOHUN dan Pfizer Indonesia, Jumat (5/11/2021).
Antibiotik sendiri masuk dalam kategori merah atau obat keras yang penggunaanya harus berdasarkan resep dan pengawasan dokter.
Obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknis, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak.
Apabila tidak diawasi dokter, penyakit yang seharusnya tidak memerlukan antibiotik malah digunakan, dan saat kondisi pasien benar-benar butuh antibiotik, l tubuh sudah resisten atau kebal alias membuat antibiotik tidak memiliki efek apapun.
Seperti diketahui umumnya antibiotik adalah obat untuk infeksi bakteri, bukan untuk infeksi virus seperti influenza, demam berdarah, Covid-19 dan sebagainya.
Ini juga yang menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
Mirisnya, data organisasi kesehatan dunia atau WHO, menunjukan penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara berkembang pada periode 2000 hingga 2015.
Baca Juga: BNN Sita 5.000 Butir Ekstasi, 5 Pelaku Ditangkap
Apalagi, penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengungkap bahwa rerata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan (tidak kebal) terhadap bakteri Escherichia coli sebesar 10.400 dollar AS atau sekitar Rp149 juta.
Sedangkan bagi pasien yang resisten nilainya bertambah sebanyak 6.000 dollar AS atau sekitar 86 juta rupiah, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.
"Peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan," pungkas Dr Harry.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
Terkini
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis
-
Dokter Kandungan Akui Rahim Copot Nyata Bisa Terjadi, Bisakah Disambungkan Kembali?
-
Klinik Safe Space, Dukungan Baru untuk Kesehatan Fisik dan Mental Perempuan Pekerja
-
Mengubah Cara Pandang Masyarakat Terhadap Spa Leisure: Inisiatif Baru dari Deep Spa Group
-
Terobosan Baru Lawan Kebutaan Akibat Diabetes: Tele-Oftalmologi dan AI Jadi Kunci Skrining
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?