Suara.com - Pada 8 Mei 2022 lalu baru saja diperingati sebagai World Thalassemia Day atau Hari Talasemia sedunia. Belakangan diketahui penyakit kronik ini bisa menyebabkan peradangan hati atau hepatitis.
Talasemia adalah penyakit kronik keturunan, dimana tubuhnya tidak bisa memproduksi sel darah merah yang normal, sehingga ia harus bergantung pada transfusi darah seumur hidup.
Menurut Pakar Ilmu Kesehatan Anak, Prof.Dr.dr. Pustika Amalia Wahidiyat bahwa hepatitis adalah dampak terberat yang berisiko dialami pasien talasemia.
Risiko pertama, karena zat besi pada tubuh terus menerus membebani kinerja hati atau liver sehingga berisiko sebabkan peradangan atau rusaknya sel hati.
"Zat besi- zat besi itu yang akan melekat kepada organ di dalamnya, terutama jatung, hati, dan kelenjar endoktrin yang membuat hormon-hormon tubuh. Jadi organ hati dia akan rusak, sel hatinya rusak," ujar Prof. Pustika dalam acara diskusi Kemenkes, Selasa (10/5/2022)
Penumpukan zat besi di tubuh pasien talasemia terjadi karena ia harus mendapatkan transfusi darah terus menerus. Sedangkan tubuh manusia umumnya tidak bisa mengeluarkan zat besi dalam jumlah banyak sekaligus.
Apalagi dalam satu kantong darah, umumnya mengandung 200 miligram (mg) zat besi, dan umumnya minimal pasien talasemia harus mendapatkan transfusi darah 1 hingga 4 kali dalam seminggu.
"Sementara yang keluar dari tubuh kita hanya 1 sampai 2 mg per hari, jadi kalau sebulan hanya 30 hingga 60 mg, sedangkan yang masuk satu kantong 200 mg. Sehingga akan terjadi kelebihan zat besi di dalam tubuhnya," terangnya.
Risiko kedua, pasien talasemia juga bisa terinfeksi hepatitis dari darah yang ditransfusikan ke tubuhnya. Meski pemeriksaan darah terbilang maju, namun masih saja ada peluang ditemukannya darah dari pendonor penderita hepatitis.
Baca Juga: UNICEF: Imunisasi Dasar Lengkap dan Perilaku Hidup Bersih Upaya Cegah Hepatitis Akut Pada Anak
"Lalu kedua adalah walaupun skrining darah di kita sudah baik, tapi tidak ada skrining yang 100 persen. Artinya 99 persen mungkin tidak bisa tertular dengan hepatitis. Tapi ada 1 persennya, yang kena hepatitis C, hepatitis B, atau bahkan HIV," tutup Prof. Pustika.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!
-
Produk Susu Lokal Tembus Pasar ASEAN, Perkuat Gizi Anak Asia Tenggara
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!