Suara.com - Belakangan sempat ramai diberitakan tentang temuan mikroplastik pada kotoran manusia. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada kesehatan.
Meski demikian, hingga kini belum ada satu negara pun yang bisa membuktikan sejauh mana mikroplastik itu membahayakan kesehatan manusia. Hal itu yang membuat belum adanya satu regulasi pun yang menetapkan berapa batas aman mikroplastik ini di dalam tubuh sehingga bisa membahayakan kesehatan.
Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, peneliti mikroplastik yang juga Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pangan Universitas Soegijapranata, Inneke Hantoro, mengatakan pemerintah di banyak negara belum bisa memberikan kepastian berapa standar mikroplastik yang boleh ada di dalam tubuh manusia. Menurutnya, hal itu disebabkan banyaknya tingkat kesulitan untuk melakukan analisis mikroplastik ini.
Ia mengatakan untuk menjawab apakah mikroplastik bisa disebut sebagai foor hazard atau memberikan bahaya pada kesehatan tubuh, yang harus dilakukan adalah risk assessment atau evaluasi risiko. Berdasarkan Codex Alimentarius Commision (CAC), ada 4 tahapan untuk melakukan evaluasi resiko ini.
Pertama melakukan identifikasi hazard, dengan mengidentifikasi dulu keberadaan mikroplastik, faktor apa yang mendorong keberadaannya, karakternya bagaimana baik konsentrasinya, bentuk, ukuran, warna dan jenis polimernya. Kedua, membuat karakteristik bahayanya dengan mengujinya kepada hewan percobaan.
Ketiga, melakukan studi perkiraan paparan mikroplastik pada tubuh manusia sehingga bisa melakukan evaluasi resikonya. Keempat, mengelompokkan risk assessment untuk menentukan apakah memang ada bahayanya pada manusia.
“Saat ini, penelitian mikroplastik ini baru ada pada tahap 1 dan 2, itupun masih banyak tantangannya. Jadi belum sampai kepada uji terhadap manusianya,” ujarnya.
Karenanya, terkait sudah berlimpahnya artikel yang bicara mengenai deteksi keberadaan mikro plastik di banyak produk, dia mengatakan semua itu tetap harus dikaji lebih jauh. “Jadi, akan masih sangat sulit untuk melakukan penetapan standar aman dari mikroplastik itu. Seluruh dunia juga masih mengalami hal yang sama,” tukasnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Kimia Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andreas, juga menyampaikan hal yang sama. Dia juga menyampaikan sampai sekarang belum ada regulasi yang mengatur standar terkait dengan jumlah mikroplastik dalam satu produk pangan olahan.
“Karena, kalau dihitung sebagai jumlah itu tidak fair. Hal itu disebabkan dalam ada produk itu yang mungkin ada serpihan mikroplastiknya kecil-kecil dan jumlahnya 10, sedangkan produk lain serpihannya cuma satu tapi panjang. Itu kan tidak fair kalau dihitung dari jumlah mikro plastiknya. Jadi, tidak fair juga kalau jumlah itu dijadikan patokan,” tukasnya.
Karenanya, kata Andreas, negara-negara di dunia juga masih belum ada yang menentukan regulasi terkait dengan jumlah mikroplastik dalam satu produk pangan olahan. Menurutnya, mikroplastik yang ukurannya terlalu kecil tidak bisa dilihat secara visual dengan mata, tapi harus menggunakan alat bantu misalnya mikroskop.
“Tetapi, itu kan baru terduga apakah memang betul itu material plastik. Nah, untuk bisa memastikan itu material plastik, harus dilakukan pengujian secara instrumentasi. “Jadi, semakin banyak informasi yang dirangkum untuk memastikan sesuatu itu adalah mikroplastik, akan semakin meningkatkan validitas dalam kita memastikannya,” katanya.
Dia juga mengakui BRIN hingga kini belum pernah melakukan penelitian dampak mikroplastik ini terhadap kesehatan manusia.
Pengamat Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Zainal Abidin juga menegaskan bahwa dampak cemaran mikroplastik terhadap kesehatan manusia saat ini belum dapat dipastikan karena penemuan relatif baru dan butuh penelitian lebih lanjut.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Daftar Harga HP Xiaomi Terbaru Oktober 2025: Flagship Mewah hingga Murah Meriah
-
Kepala Daerah 'Gruduk' Kantor Menkeu Purbaya, Katanya Mau Protes
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
Terkini
-
Rahasia Awet Muda Dibongkar! Dokter Indonesia Bakal Kuasai Teknologi Stem Cell Quantum
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru