Suara.com - Memperingati Hari Disabilitas Internasional 2024, masih sedikit orang yang tahu katarak atau mata keruh bisa jadi awal seseorang bisa menjadi disabilitas netra alias kebutaan.
Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) pada 2014 hingga 2016 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan katarak jadi penyebab terbanyak usia 50 tahun ke atas alami kebutaan di Indonesia. Tak main-main angkanya mencapai 81 persen.
Hal senada juga disampaikan Dokter Spesialis Mata sekaligus Direktur PT JEC Orbita Kendari, dr. Deby Trisnawaty Mansyur, Sp.M yang mengatakan masalah mata yang paling banyak ditemukan di Kendari yaitu katarak. Bahkan dalam acara bakti sosial, operasi katarak yang dilakukan pihaknya menemukan pasien termuda 25 tahun sudah alami masalah mata tersebut.
Mirisnya, meski sadar penglihatannya bermasalah, tapi cuma sedikit pasien yang mau menjalani pemeriksaan hingga melakukan operasi katarak atau menjalani pengobatan. Selain terkendala biaya, ada juga ketakutan masyarakat untuk menjalani pengobatan.
"Paling banyak di Kendari itu masalah mata katarak. Banyak di Kendari itu kasus katarak yang masyarakat itu takut untuk lakukan operasi, karena bisikan orang sekitar yang dia dengar mengatakan bahwa kita operasi dan tidak operasi tetap saja buta. Jadi makanya mereka nggak mau lakukan operasi katarak," ungkap dr. Deby dalam acara Grand Opening Klinik Utama Mata JEC Orbita @Kendari yang digelar secara virtual, Sabtu (30/12/2024).
Katarak adalah kondisi medis yang menyebabkan lensa mata menjadi keruh, sehingga mengganggu penglihatan. Gejala mata katarak yaitu pandangan kabur, silau terhadap cahaya, hingga mata melihat cincin pada sumber cahaya.
Di sisi lain, Direktur Pengembangan dan Pendidikan JEC Group, Prof. dr. Tjahjono Darminto Gondhowiardjo, SpM(K), PhD memaparkan hasil penelitian yang menyebutkan orang dengan gangguan penglihatan alias kebutaan punya kualitas hidup yang rendah. Bahkan sulit melakukan aktivitas dasar sehari-hari.
"Kita pernah lakukan survei yang menarik, orang yang alami kebutaan itu kualitas hidupnya sangat rendah, sehingga kurang dari 30 persen. Artinya apa, dia membutuhkan buat pakai baju susah bukan main, mau ke toilet harus dibantu, sampai di toilet juga harus dibantu, makan juga begitu," papar Prof. Tjahjono.
Lebih lanjut kata Prof. Tjahjono, jika seseorang tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari, maka ia perlu pendamping anggota keluarga. Inilah sebabnya orang dengan kebutaan bisa menurunkan kualitas hidup sebuah keluarga.
Baca Juga: Tragis, Bocah 12 Tahun Alami Kebutaan Akibat Pola Makan Junk Food
"Sehingga ada satu keluarga yang harus bantu terus. Jadi dalam keluarga itu paling enggak dua orang ngebantu, kalau terjadi kepada kepala keluarga, jadi seluruh keluarganya akan alami kesulitan dalam sosial, ekonominya, kehidupannya," jelasnya.
Ia menjelaskan katarak bisa jadi penyebab kebutaan, apalagi orang tersebut punya pekerjaan atau tinggal di lingkungan berisiko, seperti terpapar matahari terus menerus, hingga hidup di kepulauan dekat laut yang membuat matanya terus terpantul sinar matahari.
"Itu yang sebabkan, kita banyak sekali mundur. Kenapa mundur? Karena pola makan kita kurang baik, kita berada di paparan sinar matahari terus, apalagi kepulauan, sinar matahari mantul di laut itu bikin perburukan penglihatan lebih cepat," ungkapnya.
Terakhir, ia meminta masyarakat untuk tidak takut lakukan operasi katarak, karena teknologi medis terus berkembang yang membuat pasien bisa pulih lebih cepat. Bahkan luka usai tindakan cenderung kecil, dan kerap tidak butuh jahitan untuk menutup luka.
"Kalau tindakan relatif sangat kecil, lukanya hanya 2,3 mm (milimeter) sering tidak perlu dijahit, penyembuhan jadi lebih cepat, recovery dalam 2 hingga 3 minggu bisa kembali normal," pungkas Prof. Tjahjono.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Terkini
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat
-
Konsistensi Lawan Katarak Kongenital, Optik Ini Raih Penghargaan Nasional