Suara.com - Kanker usus besar atau kanker kolon merupakan salah satu jenis kanker dengan angka kematian yang tinggi, terutama karena sering kali terdiagnosis dalam stadium lanjut. Padahal, jika dideteksi sejak dini, tingkat kesembuhannya sangat tinggi.
Di sinilah pentingnya kolonoskopi, sebuah prosedur medis yang tidak hanya memungkinkan deteksi dini, tetapi juga bisa menyelamatkan nyawa.
Kolonoskopi dilakukan dengan memasukkan alat bernama endoskop—sebuah selang fleksibel yang dilengkapi kamera kecil—melalui dubur untuk melihat langsung permukaan bagian dalam usus besar.
Melalui layar monitor, dokter dapat menilai kondisi usus secara detail, mencari adanya polip, peradangan, luka, atau massa mencurigakan. Jika ditemukan jaringan yang abnormal, dokter dapat langsung mengambil sampel (biopsi) untuk dianalisis lebih lanjut di laboratorium.
Menurut dr Randy Adiwinata, Sp.PD, spesialis penyakit dalam dari RS Siloam MRCCC Semanggi, kanker kolon biasanya berkembang perlahan dari polip jinak yang tumbuh di dinding usus.
"Proses ini berlangsung dalam waktu lama dan melalui beberapa tahapan mutasi genetik hingga akhirnya berubah menjadi kanker ganas," ungka Dokter Randy dikutip dari ANTARA pada Senin (7/4/2025).
Sayangnya, kanker kolon kerap tidak menunjukkan gejala spesifik pada tahap awal. Seiring berkembangnya penyakit, barulah muncul keluhan seperti perubahan pola buang air besar, feses berdarah, perasaan BAB tidak tuntas, kembung terus-menerus, anemia, hingga penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Bahkan pada stadium lanjut, dapat ditemukan benjolan di perut, sumbatan usus, dan perut yang membesar.
dr Randy juga menegaskan pentingnya membedakan perdarahan akibat kanker kolon dengan kondisi lain seperti wasir.
Baca Juga: Waspada! Makanan Ultra Proses Picu Kanker Usus Besar, Ini Hasil Penelitian Terbaru
“Perdarahan karena kanker biasanya bercampur dengan feses dan disertai keluhan sistemik lain seperti lemas dan berat badan menurun. Sementara pada wasir, darah biasanya muncul setelah BAB, menetes, dan tidak bercampur dengan kotoran,” ujarnya.
Karena gejalanya yang sering disalahartikan, banyak pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sudah lanjut. Oleh karena itu, semua bentuk perdarahan dalam feses sebaiknya tidak dianggap sepele dan harus diperiksa lebih lanjut melalui kolonoskopi.
Selain kolonoskopi, pemeriksaan penunjang lain seperti CT scan, MRI, dan PET scan juga digunakan untuk mengetahui sejauh mana penyebaran kanker.
Pemeriksaan darah samar pada feses (fecal occult blood test) juga bisa dilakukan sebagai metode skrining awal. Jika hasilnya positif, pasien tetap disarankan menjalani kolonoskopi sebagai pemeriksaan lanjutan.
Berdasarkan pedoman dari American College of Gastroenterology, skrining kolonoskopi disarankan mulai usia 45 tahun, bahkan pada individu yang tidak memiliki gejala. Tujuannya adalah mendeteksi dan mengangkat polip sebelum berubah menjadi kanker.
Dalam hal penanganan, RS Siloam MRCCC Semanggi menerapkan pendekatan multidisipliner. Tim dokter terdiri dari ahli onkologi, gastroenterologi, bedah, radiologi, gizi, serta perawat luka dan unit paliatif. Mereka bekerja bersama dalam diskusi tim untuk merancang rencana terapi terbaik bagi setiap pasien.
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 5 HP Murah RAM 8 GB Memori 256 GB untuk Mahasiswa, Cuma Rp1 Jutaan
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Sunscreen Terbaik Mengandung Kolagen untuk Usia 50 Tahun ke Atas
- 8 Lipstik yang Bikin Wajah Cerah untuk Ibu Rumah Tangga Produktif
Pilihan
-
Vinfast Limo Green Sudah Bisa Dipesan di GJAW 2025, Ini Harganya
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
Terkini
-
Terobosan Regeneratif Indonesia: Di Balik Sukses Prof. Deby Vinski Pimpin KTT Stem Cell Dunia 2025
-
Peran Sentral Psikolog Klinis di Tengah Meningkatnya Tantangan Kesehatan Mental di Indonesia
-
50 Persen Penduduk Indonesia Berisiko Osteoporosis, Kenapa Gen X Paling Terancam?
-
Waduh! Studi Temukan Bukti Hewan Ternak Makan Sampah Plastik, Bahayanya Apa Buat Kita?
-
Terobosan Penanganan Masalah Bahu: Dari Terapi Non-Bedah hingga Bedah Minim Invasif
-
Cuaca Berubah-ubah Bikin Sakit? Ini 3 Bahan Alami Andalan Dokter untuk Jaga Imunitas!
-
Review Lengkap Susu Flyon: Manfaat, Komposisi, Cara Konsumsi dan Harga Terbaru
-
BPOM: Apotek Jangan Asal Berikan Antibiotik ke Pembeli, Bahaya Level Global
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG