Suasana di Bukit Duri [suara.com/Dian Rosmala]
Baca 10 detik
Ditemani segelas kopi hitam, Mulyono tampak santai di kios kecil tepi jalan, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (3/11/2017).
Kios kecil itu milik Yati, bekas warga Kampung Duri yang kini tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa di kawasan Rawabebek, Jakarta Timur.
Sementara teman Mul, Rohiman dan Rusdi, terlihat serius beradu otak lewat permainan catur. Sesekali mereka ngobrol satu sama lain sambil menyeruput kopi hitam yang tersaji dalam sebuah gelas dari plastik.
"Lama juga busnya ya. Gue padahal ada perlu lagi ni sore ini," kata Mul menggerutu.
Kios kecil itu milik Yati, bekas warga Kampung Duri yang kini tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa di kawasan Rawabebek, Jakarta Timur.
Sementara teman Mul, Rohiman dan Rusdi, terlihat serius beradu otak lewat permainan catur. Sesekali mereka ngobrol satu sama lain sambil menyeruput kopi hitam yang tersaji dalam sebuah gelas dari plastik.
"Lama juga busnya ya. Gue padahal ada perlu lagi ni sore ini," kata Mul menggerutu.
Mul ternyata sedang menunggu bus penjemput. Ia mau pulang ke rumah susun Rawabebek, setelah seharian menjajakan lemari kayu di Bukit Duri.
"Udah sih tunggu aja. Paling juga itu bentar lagi datang," saut Yati ketika mendengar Mul yang tidak sabaran lagi.
Mul, Rohiman, dan Yati adalah warga asli Bukit Duri. Rumah mereka telah hilang. Rata dengan tanah, setelah terjadi penggusuran pada September 2016. Kini, mereka tinggal di rusunawa.
Tak Kuat Bayar Sewa Rusunawa
Sebelum digusur, Mul memiliki dua rumah di Bukit Duri. Tapi, kedua rumah sudah tak ada lagi. Kini, ia bersama istri dan anak tinggal di rumah susun dengan biaya sewa Rp300 ribu per bulan.
Mul mengaku tidak kuat lagi membayar beban sewa. Ia nunggak sekitar enam bulan.
"Masalahnya kami tinggal di Rawa Bebek pun setiap hari harus membayar sewa. Pencaharian kami pun sudah tidak jelas. Rp300 ribu itu cuma biaya sewa lho, belum listrik, air, kalau ditotal sekitar Rp800 ribu harus kami bayar," kata Mul kepada Suara.com.
"Saya ungkapkan di sini, khususnya pak Gubernur Anies, bahwa di Rawa Bebek itu yang bayar sewa, semua pada nggak kuat bayar. Mulai dari lantai 1 sampai lantai 5, itu sudah banyak yang nunggak," imbuh Mul.
Penghuni rusunawa Rawabebek, kata dia, rata-rata sudah pada nunggak enam bulan lebih. Bahkan, ada yang sampai setahun belum bayar-bayar uang sewa.
Mul sebenarnya sudah tak nyaman tinggal di rusunawa, terutama karena suasananya. Suasana hidup di sana individualistik. Beda jauh dengan kehidupan di Bukit Duri yang dulu. Dia kangen suasana kekeluargaan di Bukit Duri.
Mul setiap hari harus bolak-balik dari rusunawa Rawabebek ke Kampung Bukit Duri untuk menjual lemari-lemari kayu.
Mul mengaku sudah benar-benar capek dengan aktivitasnya sekarang. Tapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Dia harus tetap menafkahi keluarga.
Dia ingat zaman dulu, sebelum direlokasi ke rusunawa oleh pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama, dia tak perlu jalan jauh-jauh untuk jualan lemari. Walau hidup sederhana, semua dapat dilalui dengan tenang.
"Kalau kami kan lahir di sini, kami pribumi, kami asli di sini. Kami tetap enak di sini," ujar Mul.
"Kami tetap nyaman di Bukit Duri, walaupun kami seringkali kebanjiran. Tapi kalau di sana, tetap kami harus memikirkan sewa rumah, air tadinya kami disini nggak pernah sewa, air juga kami pasang dari PAM sendiri, sekarang kami harus berurusan dengan PAM di sana. Berurusan dengan pengelola rumah," Mul menambahkan.
Mul mengharapkan pemerintahan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berpihak pada nasib orang kecil sepertinya. Mul setuju dengan penataan kota. Itu dibuktikan ketika dia dan tetangga-tetangganya rela direlokasi ke rusunawa Rawabebek demi mendukung program pemerintah.
"Memang DKI ini harus bagus, DKI harus bersih, DKI harus rapi. Tapi jangan mengenyampingkan kami. Kami terima dengan ikhlas untuk DKI, tapi tolong perhatikan kami
khususnya untuk warga kami ini yang menunggak tentang pembayaran," kata Mul.
"Saya ungkapkan di sini, khususnya pak Gubernur Anies, bahwa di Rawa Bebek itu yang bayar sewa, semua pada nggak kuat bayar. Mulai dari lantai 1 sampai lantai 5, itu sudah banyak yang nunggak," imbuh Mul.
Penghuni rusunawa Rawabebek, kata dia, rata-rata sudah pada nunggak enam bulan lebih. Bahkan, ada yang sampai setahun belum bayar-bayar uang sewa.
Mul sebenarnya sudah tak nyaman tinggal di rusunawa, terutama karena suasananya. Suasana hidup di sana individualistik. Beda jauh dengan kehidupan di Bukit Duri yang dulu. Dia kangen suasana kekeluargaan di Bukit Duri.
Mul setiap hari harus bolak-balik dari rusunawa Rawabebek ke Kampung Bukit Duri untuk menjual lemari-lemari kayu.
Mul mengaku sudah benar-benar capek dengan aktivitasnya sekarang. Tapi apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain. Dia harus tetap menafkahi keluarga.
Dia ingat zaman dulu, sebelum direlokasi ke rusunawa oleh pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama, dia tak perlu jalan jauh-jauh untuk jualan lemari. Walau hidup sederhana, semua dapat dilalui dengan tenang.
"Kalau kami kan lahir di sini, kami pribumi, kami asli di sini. Kami tetap enak di sini," ujar Mul.
"Kami tetap nyaman di Bukit Duri, walaupun kami seringkali kebanjiran. Tapi kalau di sana, tetap kami harus memikirkan sewa rumah, air tadinya kami disini nggak pernah sewa, air juga kami pasang dari PAM sendiri, sekarang kami harus berurusan dengan PAM di sana. Berurusan dengan pengelola rumah," Mul menambahkan.
Mul mengharapkan pemerintahan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berpihak pada nasib orang kecil sepertinya. Mul setuju dengan penataan kota. Itu dibuktikan ketika dia dan tetangga-tetangganya rela direlokasi ke rusunawa Rawabebek demi mendukung program pemerintah.
"Memang DKI ini harus bagus, DKI harus bersih, DKI harus rapi. Tapi jangan mengenyampingkan kami. Kami terima dengan ikhlas untuk DKI, tapi tolong perhatikan kami
khususnya untuk warga kami ini yang menunggak tentang pembayaran," kata Mul.
Tag
Komentar
Berita Terkait
-
Cara Nonton Pengepungan di Bukit Duri, Film Thriller Joko Anwar Penuh Aksi!
-
Catat Tanggalnya, Pengepungan di Bukit Duri Siap Tayang di Prime Video
-
Deretan Film dan Serial Tayang Agustus di Prime Video, Ada Thriller hingga Komedi
-
Kebakaran di Jakarta Telan Korban Jiwa, DPRD DKI: Bukan Sekadar Musibah, Ini Alarm Masalah Urban
-
2 Anak Tewas, Cerita Ibu Korban Kebakaran di Tebet Nekat Lompat dengan Bayi yang Digendongnya
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO