Suara.com - Investigasi oleh pemerintah Amerika Serikat membuktikan bahwa militer Myanmar telah "merencanakan dan mengkoordinasikan" pembunuhan massal, pemerkosaan massal, dan sejumlah kejahatan lainnya terhadap kelompok minoritas Rohingya.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat akan menyiarkan hasil penyelidikan itu pada Senin dan akan menggunakannya sebagai alasan pemberlakuan sanksi tambahan.
Namun, penyelidikan itu tidak menyebut aksi militer terhadap Rohingya sebagai genosida.
Sejumlah sumber Reuters sebagaimana diwartakan Antara mengungkapkan, bahwa persoalan ini sempat menjadi bahan perdebatan sengit yang membuat mereka harus menunda penyiaran hasil investigasi selama hampir satu bulan.
Dalam investigasi itu, Amerika Serikat mewawancarai lebih dari seribu warga Rohingya di tempat penampungan pengungsi Bangladesh, yang menjadi tempat pelarian bagi hampir 700.000 warga Rohingya.
"Survei ini mengungkapkan bahwa kekerasan di kawasan utara Rakhine terjadi dalam skala yang sangat besar, luas, ekstrem, dan sepertinya ditujukan untuk meneror para penduduk serta mengusir warga Rohingya," kata laporan setebal 20 halaman itu.
"Skala operasi militer yang ada menunjukkan bahwa aksi ini sangat terencana dan terkoordinasi," kata laporan yang sama.
Para penyintas bercerita apa yang mereka saksikan, termasuk bagaimana para tentara Myanmar membunuh bayi dan anak kecil, menembak sejumlah pria tak bersenjata, dan mengubur orang hidup-hidup.
Para penyintas juga menceritakan pelecehan seksual oleh militer Myanmar terhadap perempuan Rohingya, yang sering dilakukan di muka umum.
Baca Juga: Dapat Dukungan Caleg Golkar, Gerindra Pede Menangi Pilpres 2019
Salah seorang saksi mengaku melihat empat gadis Rohingya diculik, diikat dengan tali, lalu diperkosa selama tiga hari, demikian laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan.
Militer Myanmar sendiri membantah telah melakukan aksi pembersihan etnis dan beralasan bahwa operasi yang mereka lakukan bertujuan untuk memberantas terorisme.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO