Suara.com - Istilah buzzer kembali ramai diperbincangkan dalam sebulan terakhir. Ada yang berpendapat bila buzzer itu netral, namun ada pula yang curiga buzzer itu bagian dari permainan politik. Sesungguhnya, belum ada pemahaman yang sama tentang apa itu buzzer dan merujuk pada siapa.
Merujuk sebuah makalah yang berjudul "Social Media, Propaganda of Hate, and Epidemics of Post-Truth: A Study of Indonesian Presidential Election 2019", buzzer politik menjadi tema diskusi dalam sebuah konferensi yang bertajuk “Searching for the Next Level of Human Communication: Human, Social, and Neuro (Society 5.0)” yang diselenggarakan di Bali beberapa waktu lalu.
Penyelenggara konferensi tersebut adalah ICA (International Communication Association) Regional Asia-Pasifik yang bekerja sama dengan Aspikom (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi). Sedangkan para penulis makalah tersebut adalah peneliti-peneliti Aspikom yang terdiri dari Irwan Julianto, Eriyanto, Sony Subrata, dan Agus Sudibyo.
Menurut Irwan Julianto, dirinya menyoroti salah paham yang muncul tentang penelitian Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Oxford Internet Institute yang bertajuk “The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Keberadaan buzzer politik di berbagai negara termasuk Indonesia, juga menjadi objek penelitian Irwan Julianto. Penelitian-penelitian ini banyak digunakan sebagai acuan diskusi publik tentang buzzer politik di Indonesia belakangan.
“Saya menemukan beberapa kesalahpahaman di penelitian Bradshaw dan Howard. Penelitian ini menunjukkan banyak negara di dunia, 87% dari 70 negara yang diteliti, telah mempraktekkan penggunaan akun manusia (80%), akun bot atau cyborg (11%) dan akun retasan (7%) untuk kebutuhan propaganda politik,” ucap Irwan dalam keterangannya, Minggu (20/10/2019).
“Untuk kasus di Indonesia, Bradshaw dan Howard menemukan penggunaan akun bot dan akun yang dikelola manusia untuk menyebarkan pesan-pesan yang mendukung posisi Pemerintah dalam isu tertentu. Namun di saat yang sama, Bradshaw dan Howard tidak menemukan data yang meyakinkan terkait upaya pemerintah Indonesia memanipulasi opini publik melalui media sosial,” ujar Irwan.
Irwan menambahkan, dirinya menemukan perbedaan hasil penelitian saat melakukannya di China, Kamboja, Rusia, Iran dan Israel. Irwan menilai, Di negara-negara tersebut, setidaknya ada tiga kementerian atau lembaga resmi yang mampu menggiring opini masyarakat melalui media sosial.
“Jadi, kalaulah ada pasukan siber yang operasinya menguntungkan posisi Pemerintah di Indonesia, mereka tidak digerakkan oleh Pemerintah secara langsung. Mereka kemungkinan digerakkan kelompok-kelompok yang bersimpati pada pemerintah,” tambah Irwan.
Baca Juga: Besok, Jokowi Umumkan Kabinet Kerja Jilid 2
Dalam kesempatan tersebut, Irwan juga menyayangkan pihak-pihak yang dinilai tidak membaca secara cermat hasil penelitian dari Oxford Internet Institute. Irwan menyebut, hasil kajian mereka menyatakan bila bahwa Pemerintah Indonesia telah menggunakan buzzer secara organik untuk menggiring opini publik.
“Penelitian Oxford tidak menyimpulkan sejauh itu. Pemerintah Indonesia justru diidentifikasi lebih menahan diri dibandingkan pemerintah Negara lain dalam hal penggunaan media-sosial untuk pembentukan opini masyarakat. Kalaupun ada buzzer yang mendukung pemerintah, kan tidak otomatis berarti mereka dibiayai pemerintah,” kata Irwan.
Di akhir kesempatan, Irwan juga memaparkan hasil temuan dari lembaga pemantau media sosial PoliticaWave. Irwan mengungkapkan, selama masa kampanye Pilpres 2019, Capres Petahana Jokowi menjadi objek yang paling mendapatkan serangan hoaks dan ujaran kebencian dari pesaingnya di berbagai media sosial.
“Berbagai isu mulai dari isu komunisme, pro LGBT, anti Islam, dan kriminalisasi terhadap ulama dan Pro China digunakan untuk menyudutkan Jokowi secara bertubi-tubi di media sosial. Namun Jokowi tetap fokus dengan kampanyenya yang programatik dan empatik, sehingga bisa memenangkan pilpres dengan perolehan suara 55,5% dari total suara nasional,” tutup Irwan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
-
Emil Audero Jadi Kunci! Cremonese Bidik Jungkalkan Parma di Kandang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
Terkini
-
Digerebek Satpol PP Diduga Sarang Prostitusi, Indekos di Jakbar Bak Hotel: 3 Lantai Diisi 20 Kamar!
-
Usai Siswa Keracunan Massal, DPR Temukan Ribuan SPPG Fiktif: Program MBG Prabowo Memang Bermasalah?
-
RUU Perampasan Aset Mesti Dibahas Hati-hati, Pakar: Jangan untuk Menakut-nakuti Rakyat!
-
Ucapan Rampok Uang Negara Diusut BK, Nasib Wahyudin Moridu Ditentukan Senin Depan!
-
Survei: Mayoritas Ojol di Jabodetabek Pilih Potongan 20 Persen Asal Orderan Banyak!
-
Sambut Putusan MK, Kubu Mariyo: Kemenangan Ini Milik Seluruh Rakyat Papua!
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi