Suara.com - Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyampaikan, kondisi demokrasi di Indonesia saat ini semakin parah dari era sebelumnya.
Menurutnya, justru demokrasi yang ada saat ini diputarbalikan ke arah otoritarianisme.
"Secara umum, kondisi demokrasi di Indonesia masih sama bahkan semakin parah dibandingkan masa sebelumnya. Terjadi kemunduran demokrasi dan putar balik ke arah otoriterisme," kata Wijayanto dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun 2021 bidang Politik, Media, dan Demokrasi yang dikutip Suara.com, Senin (13/12/2021).
Ia mengatakan, ada empat indikator yang menjadi ciri kematian demokrasi. Ia mengutip teori yang dikemukakan dua orang Prof Harvard Daniel Ziblatt dan Steven Levistky pada 2018 antara lain.
Pertama, diabaikannya aturan main demokratis. Misalnya, wacana presiden tiga periode masih hidup dan dipertahankan hingga hari ini.
Kemudian alotnya penentuan tanggal pemilu karena diintervensi untuk tarik ulur kepentingan status quo dan bukan berdasarkan pertimbangan feasibilitas pemilu.
"Kedua, absen atau diberangusnya lawan politik (oposisi). Hal ini tampak misalnya dengan KLB Partai Demokrat yang merupakan rekayasa politik dari kekuatan dalam lingkaran istana yang kemudian dianulir sendiri oleh Menteri hukum dan HAM setelah ada protes kuat dari masyarakat sipil," ungkapnya.
Kemudian yang ketiga, toleransi atau anjuran untuk penggunaan kekerasan. Menurutnya, YLBHI mencatat, terjadi banyak peristiwa kekerasan dalam pembebasan lahan dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur.
Lalu yang keempat, terberangusnya kebebasan sipil termasuk media.
Baca Juga: Budi Gunawan Luncurkan Buku Demokrasi di Era Post Truth, Raffi Ahmad: untuk Anak Muda
"Hal ini tampak jelas pada kebangkitan otoriterisme digital yang semakin nyata hari-hari ini," tuturnya.
Khusus untuk otoriterisme di bidang digital, menurut Wijayanto ditandai berbagai tren.
Pertama, kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktifis dengan menggunakan pasal karet dalam berbagai produk perundangan.
"Trendnya meningkat dari 36 kasus pada 2014, menjadi 30 kasus pada 2015, lalu 83 kasus pada 2016, ada 56 kasus 2017, 25 dan 24 kasus pada 2018 dan 2019, lalu naik pesat pada 2020 menjadi 84 kasus," tuturnya.
Tren kedua yakni, pemutusan koneksi internet oleh Pemerintah Indonesia atas nama keamanan.
Lalu yang ketiga, sensor online, berupa penutupan situs-situs tertentu tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.
"Tren keempat, pengawasan aktivitas warga negara di internet oleh negara antara lain dengan polisi siber dan polisi virtual, ataupun dengan menggunakan badge award. Di mana kepolisian memberikan hadiah kepada mereka yang melaporkan warga," tuturnya.
Terakhir, tren kelima, yakni rangkaian tindakan premanisme digital di media sosial. Menurutnya, jika empat di atas dilakukan secara sadar atau resmi oleh negara, atau menggunakan hukum negara, maka ada tren kelima ini dilakukan oleh aktor non negara atau negara tidak secara resmi mengakuinya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Kopi & Matcha: Gaya Hidup Modern dengan Sentuhan Promo Spesial
- Ameena Akhirnya Pindah Sekolah Gegara Aurel Hermanyah Dibentak Satpam
- Breaking News! Keponakan Prabowo Ajukan Pengunduran Diri Sebagai Anggota DPR RI Gerindra, Ada Apa?
- Prabowo Incar Budi Gunawan Sejak Lama? Analis Ungkap Manuver Politik di Balik Reshuffle Kabinet
- Patrick Kluivert Senyum Nih, 3 Sosok Kuat Calon Menpora, Ada Bos Eks Klub Liga 1
Pilihan
-
Foto AI Tak Senonoh Punggawa Timnas Indonesia Bikin Gerah: Fans Kreatif Atau Pelecehan Digital?
-
Derby Manchester Dalam 3 Menit: Sejarah, Drama, dan Persaingan Abadi di Premier League
-
Disamperin Mas Wapres Gibran, Korban Banjir Bali Ngeluh Banyak Drainase Ditutup Bekas Proyek
-
Ratapan Nikita Mirzani Nginep di Hotel Prodeo: Implan Pecah Sampai Saraf Leher Geser
-
Emil Audero Jadi Tembok Kokoh Indonesia, Media Italia Sanjung Setinggi Langit
Terkini
-
Komisi III DPR Dukung Rencana Prabowo Bentuk Tim Reformasi Polri
-
Greenpeace Murka, Kecam Izin Baru PT Gag Nikel yang Bakal Merusak Raja Ampat
-
Terungkap! Ini yang Dicecar KPK dari Khalid Basalamah dalam Skandal Korupsi Haji
-
Atasi BABS, Pemprov DKI Bangun Septic Tank Komunal dan Pasang Biopal di Permukiman Padat
-
Benarkah Puteri Komarudin Jadi Menpora? Misbakhun: Mudah-mudahan Jadi Berkah
-
Skandal Tol Rp500 Miliar, Kejagung Mulai Usut Perpanjangan Konsesi Ilegal CMNP
-
Tim Independen LNHAM Terbentuk, Bakal Ungkap Fakta Kerusuhan Agustus 2025
-
Yusril Bongkar 'Sistem Gila' Pemilu, Modal Jadi Caleg Ternyata Jauh Lebih Gede dari Gajinya
-
Pengamat: Keberanian Dasco Minta Maaf dan Bertemu Mahasiswa jadi Terobosan Baru DPR
-
BPOM Respons Temuan Indomie di Taiwan Mengandung Etilen Oksida, Produk Masih Aman di Indonesia?