Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan tragedi 1998 tidak dapat diselesaikan dengan cara non-yudisial. Pernyataan tersebut merespons perkataan Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menegaskan satu-satunya alat yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan Undang -Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Semua pelanggaran HAM berat itu, mau yang di bawah tahun 2000 maupun tidak, mekanismenya satu-satunya hanya UU Nomor 26 Tahun 2000. Enggak ada mekanisme yang lain," tegas Anam kepada wartawan Bekasi, Jawa Barat, Kamis (19/5/2022).
Anam menegaskan penggunaan pendekatan non-yudisial tidak memiliki mekanisme, sehingga tidak ada cara lain, kecuali dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Kalau ada yang ngomong mekanisme non-yudisial, apa mekanismenya, Enggak ada. Barang yang sudah ada itu lho Undang-Undang 26, ini dijalankan," ujarnya.
Komnas HAM mendesak agar kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu harus segera dituntaskan. Selain untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya, juga menjadi legitimasi untuk penghargaan HAM pada masa depan.
"Kalau kita nggak kasih contoh yang pernah terjadi, kita enggak punya referensi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Salah satunya memberikan referensi dan ruang bagi kita belajar dari masa lalu, agar ke depan jauh lebih baik. Itu penting, jadi tidak hanya keadilan bagi korban," kata Anam.
Penyelesaian Tragedi 1998 dengan Mekanisme Non-Yudisial
Sebelumnya, saat menerima mahasiswa Trisakti yang menagih tindak lanjut pemerintah terkait pelanggaran HAM masa lalu termasuk tragedi 1998, Moeldoko menyatakan pemerintah tak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas. Ia menegaskan pemerintah terus mengupayakan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang berat, baik secara yudisial maupun non-yudisial.
Baca Juga: Moeldoko Bahas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Bersama Mahasiswa Trisakti
Penyelesaian secara yudisial, kata Moeldoko, akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat baru (terjadi setelah diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu atau yang terjadi sebelum November 2000 akan diprioritaskan dengan penyelesaian melalui pendekatan non yudisial seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Kasus Trisakti 1998 masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non yudisial," terang Moeldoko.
Panglima TNI periode 2013-2015 tersebut juga menerangkan bahwa UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memungkinkan digunakan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan. Namun, menurutnya harus menunggu putusan politik oleh DPR untuk bisa mewujudkannya.
"DPR yang bisa menentukan apakah sebuah UU bisa diterapkan secara retroaktif, atau diberlakukan secara surut. Jadi pemerintah menunggu sikap politik DPR," ucapnya.
Kepada perwakilan mahasiswa Trisakti, Moedoko juga menyatakan bahwa meskipun pengadilan belum bisa digelar, pemerintah tetap mengupayakan agar para korban tetap mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara. Untuk itu, pada 12 Mei lalu, Menteri BUMN memberikan bantuan perumahan kepada 4 keluarga korban Trisakti.
"Ini bentuk kepedulian dan kehadiran negara di hadapan korban," tegasnya.
Berita Terkait
-
Terdakwa Dilarang Pakai Atribut Agama, Komnas HAM: Jaksa Agung Tidak Boleh Gunakan Prasangka
-
Kasus Lansia 78 Tahun Tewas Dianiaya Oknum Brimob, Komnas HAM Pertanyakan Keberadaan Aparat Di PT Huadi Nickel Alloy
-
Komnas HAM: Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Tergantung Kemauan dari Presiden
-
Mahasiswa Trisakti Ramai-ramai Datangi Istana, Tagih Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu ke Moeldoko
-
Moeldoko Bahas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Bersama Mahasiswa Trisakti
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
-
Angka Pengangguran Indonesia Tembus 7,46 Juta, Cuma Turun 4.000 Orang Setahun!
-
HUT ke 68 Bank Sumsel Babel, Jajan Cuma Rp68 Pakai QRIS BSB Mobile
-
6 Rekomendasi HP Snapdragon Paling Murah untuk Kebutuhan Sehari-hari, Mulai dari Rp 1 Jutaan
Terkini
-
MKD Jelaskan Pertimbangan Adies Kadir Tidak Bersalah: Klarifikasi Tepat, Tapi Harus Lebih Hati-hati
-
Dinyatakan Bersalah Dihukum Nonaktif Selama 6 Bulan Oleh MKD, Sahroni: Saya Terima Lapang Dada
-
Ahmad Sahroni Kena Sanksi Terberat MKD! Lebih Parah dari Nafa Urbach dan Eko Patrio, Apa Dosanya?
-
MKD Ungkap Alasan Uya Kuya Tak Bersalah, Sebut Korban Berita Bohong dan Rumah Sempat Dijarah
-
Polda Undang Keluarga hingga KontraS Jumat Ini, 2 Kerangka Gosong di Gedung ACC Reno dan Farhan?
-
Saya Tanggung Jawab! Prabowo Ambil Alih Utang Whoosh, Sindir Jokowi?
-
Said Didu Curiga Prabowo Cabut 'Taring' Purbaya di Kasus Utang Whoosh: Demi Apa?
-
Tragedi KKN UIN Walisongo: 6 Fakta Pilu Mahasiswa Terseret Arus Sungai Hingga Tewas
-
Uya Kuya Dinyatakan Tidak Melanggar Kode Etik, Kini Aktif Lagi Sebagai Anggota DPR RI
-
Dendam Dipolisikan Kasus Narkoba, Carlos dkk Terancam Hukuman Mati Kasus Penembakan Husein