Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan ketiga ibu yang memohon agar Narkotika Golongan I, termasuk ganja, diperbolehkan untuk keperluan pengobatan atau terapi kesehatan.
Gugatan tersebut diajukan oleh Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, dan Dwi Pertiwi didampingi Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, pada November 2020.
Mereka menuntut pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk alasan kesehatan.
Setelah 11 kali menggelar sidang perkara, MK akhirnya mengumumkan putusan tersebut pada (20/07).
'Apa dong solusinya?'
Ketiga ibu yang menggugat MK mengaku tidak terkejut mendengar putusan yang dibacakan hakim.
Dwi Pertiwi, ibu dari Musa yang menderita 'celebral palsy' namun meninggal di usia 16 tahun mengatakan bahwa ganja sangat membantu pengobatan anaknya.
Ia melihat banyak kemajuan pada anaknya setelah melakukan terapi ganja di Australia pada tahun 2016.
"Obat-obat yang ada [saat ini] itu enggak membantu saya rasakan," katanya dalam konferensi pers menyusul putusan MK.
"Ketika ini [ganja] tidak bisa digunakan, apa dong solusinya?"
Baca Juga: 5 Fakta MK Tolak Legalisasi Ganja Medis, DPR: Masih Ada Jalan
Dwi mengatakan terapi ganja telah mengurangi frekuensi kejang anaknya kala itu.
"Selama November 2016 sampai kami pulang dia enggak pernah kejang, [padahal] biasanya Musa kejang dua-tiga kali seminggu," katanya.
Ia menyerukan dukungan lebih dari Pemerintah Indonesia untuk membantu pembiayaan alat bantu bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Santi Warastuti, ibu dari Pika yang juga menderita 'celebral palsy', mengatakan sementara menunggu kemajuan riset ganja medis, pemerintah harus memberikan dukungan kepada para penderita.
"Riset waktunya enggak sebentar, sedangkan kita, orangtua dengan anak berkebutuhan khusus kan berpacu dengan waktu," katanya.
"Misalnya sambil menunggu, pemerintah punya jalan keluar lain untuk anak kita untuk menjadi lebih baik ... bukan cuma riset yang kita harapkan, tapi ada solusi sambil menunggu."
Nafiah Murhayanti yang anaknya, Keynan, berada dalam situasi yang sama pun menyuarakan hal yang sama.
Apalagi karena menurutnya peristiwa di mana obat bagi pasien 'celebral palsy' sempat "hilang" dari peredaran hingga beberapa orangtua harus mencari ke kota lain.
Alasan penolakan MK
Dalam putusannya, MK menyebutkan "diperlukannya kepastian bahwa Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi melalui pengkajian dan penelitian".
Di samping itu, pihaknya mengatakan bahwa narkotika tersebut "berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan."
Dalam keterangannya, dikatakan bagaimana berdasarkan "fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan", MK belum melihat bukti penelitian yang komprehensif bahwa Narkotika Golongan I diperbolehkan untuk pelayanan kesehatan.
"Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka keinginan para Pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis," bunyi pernyataannya.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menguraikan kekecewaannya terhadap putusan tersebut.
Ia menangkap kekhawatiran MK akan adanya penyalahgunaan terkait Narkotika Golongan I, namun mengatakan penyalahgunaan narkotika dapat terjadi setiap saat.
Erasmus juga mencontohkan bagaimana para ibu penggugat bisa menggunakan obat yang selama ini diresepkan dengan bertanggung jawab.
"Obatnya adik-adik kami ini tingkat ketergantungannya tinggi. Ini obat yang tidak bisa didapatkan di apotek.
"Kalau ibu-ibu mau, [obat] itu bisa disalahgunakan, tapi enggak karena tujuannya memang untuk pelayanan kesehatan. Tujuannya untuk kemanusiaan."
Bukan akhir perjuangan
Sebanyak enam ahli yang beberapa di antaranya berasal dari Inggris, Thailand dan Korea Selatan telah memberikan keterangan sebagai bentuk pembelaan terhadap para Pemohon.
Thailand adalah satu-satunya negara Asia yang sudah melegalisasi ganja untuk tujuan pengobatan.
Australia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya sudah mengizinkan penggunaan ganja untuk keperluan medis.
MK mengetahui hal ini namun mengatakan bahwa fakta tersebut "tidak dapat dijadikan parameter bahwa semua jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan semua negara."
Erasmus dari ICJR mengatakan para penggugat telah menjadi korban dari "inkompetensi" Pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur di masyarakat Indonesia.
"MK mengatakan ini [ganja] belum bisa digunakan untuk pelayanan kesehatan karena infrastrukturnya belum ada," katanya.
"Seakan-akan ketiga ibu ini harus mengemban kondisi yang ada karena orang-orang yang punya kuasa tidak becus memastikan bagaimana mengatur hukum ini."
Dwi Pertiwi, salah satu penggugat mengatakan putusan ini tidak menjadi akhir dari perjuangan mereka.
"Rencana ke depan kami tetap akan mengawal," katanya.
"Di tempat-tempat terpencil, banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan cuma mereka tidak bisa bersuara.
"Ini nggak bisa dibiarkan. Kita tetap terus mengawal sampai apa yang menjadi hak kita diberikan."
Berita Terkait
-
Kepala BNN Ngaku Dukung Riset Ganja Medis: Kalau Bisa Dibuktikan, Mengapa Tidak?
-
Ganja Akhirnya Diteliti di Indonesia! Kepala BNN: Bila Oke Dibeli Pakai Resep Dokter
-
Dicap Lelet hingga Pika Wafat, BNN Akhirnya Mau Gandeng Kemenkes-BRIN buat Riset Ganja Medis
-
Hingga Napas Terakhir: Perjuangan Pika Tuntut Legalisasi Ganja Medis Untuk Pengobatan
-
Duka Mendalam: Pika, Anak Penderita Cerebral Palsy, Pemohon Uji Materi Ganja Medis Tutup Usia
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Terungkap! 'Orang Baik' yang Selamatkan PPP dari Perpecahan: Ini Peran Pentingnya
-
Dana Transfer Dipangkas Rp 15 Triliun, APBD DKI 2026 Anjlok dan Gubernur Perintahkan Efisiensi Total
-
Kelurahan Kapuk Dipecah Jadi 3: Lurah Klaim Warga Menanti Sejak Lama, Semua RW dan RT Setuju
-
Antonius Kosasih Divonis 10 Tahun Bui di Kasus Korupsi PT Taspen, Hukuman Uang Pengganti Fantastis!
-
Kapuk Over Populasi, Lurah Sebut Petugas Sampai Kerja di Akhir Pekan Urus Kependudukan
-
Ada dari Bekasi dan Semarang, Tim DVI Identifikasi 7 Jasad Korban Ponpes Al Khoziny, Ini Daftarnya
-
Jokowi Absen di HUT TNI karena Tak Boleh Kena Panas, Kondisi Kesehatannya Jadi Gunjingan
-
Geger Sidang Ijazah Gibran: Tuntutan Rp125 T Bisa Dihapus, Syarat Minta Maaf dan Mundur dari Wapres
-
PHRI: Okupansi Hotel Merosot, Terhentinya Proyek IKN Buat Kaltim Paling Terdampak
-
BNPB Klaim Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny sebagai Bencana dengan Korban Terbanyak 2025