Suara.com - Pawai ogoh-ogoh di Bali menjadi salah satu daya tarik wisata yang selalu ditunggu setiap tahun. Lalu bagaimana sejarah ogoh-ogoh dan filosofinya? Yuk simak penjelasan di bawah ini yang dirangkum dari berbagai sumber.
Filosofi Ogoh-ogoh di Bali
Dalam agama Hindu, ada konsep yang bernama nyomya, yaitu sarana untuk mengubah hal negatif menjadi unsur positif dan ogoh-ogoh adalah bentuk nyomya dalam wujud nyata atau sekala.
Sementara nyomya niskala atau tak terlihat dalam rangka Nyepi, masyarakat umumnya melakukan upacara Tawur Kesanga. Jika ogoh-ogoh diarak pada sore menjelang malam, maka Tawur dilakukan pada siang hari.
Sementara itu, ogoh-ogoh merupakan simbol dari Bhuta Kala atau hal-hal buruk yang kerap melekat dalam diri manusia, seperti nafsu, tamak, iri, dengki dan dendam. Tak heran jika ogoh-ogoh berwujud menyeramkan.
Sejarah Ogoh-ogoh di Bali
Ada banyak hal yang berkaitan dengan sejarah ogoh-ogoh seperti berasal dari kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti diarak lalu digoyang-goyangkan atau pawai.
Ada juga yang menyebut ogoh-ogoh merupakan perkembangan dari lelakut, yaitu nama orang-orangan sawah yang biasanya dipakai untuk mengusir burung.
Terlepas dari semua itu, sejarah ogoh-ogoh di Bali berawal pada tahun 1983, di mana pemeritah memutuskan Hari Raya Nyei sebagai libur nasional.
Baca Juga: Memahami Makna Pawai Ogoh-ogoh pada Perayaan Hari Raya Nyepi
Masyarakat kemudian mulai membuat perwujudan Bhuta Kala yang disebut dengan ogoh-ogoh. Mulanya, ogoh-ogoh tak berwujud seperti sekarang melainkan hanya berupa onggokan.
Tujuan Ogoh-ogoh di Bali
Sesungguhnya, ogoh-ogoh tidak berkaitan secara langsung dengan Hari Raya Nyepi. Tapi pawai ini kerap dilaksanakan rutin untuk memeriahkan upacara setiap tahunnya.
Pawai ogoh-ogoh umumnya ditutup dengan membakar sosok Bhuta Kala dengan tujuan memusnahkan semua sisi buruk manusia. Di Bali, hal ini disebut dengan pralina.
Pralina sendiri adalah proses mengembalikan sesuatu kepada asalnya (melebur) dan hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti dibakar atau diperciki air suci (tirta).
Untuk ogoh-ogoh sendiri, sangat disarankan untuk melakukan pralina dengan cara dibakar sehingga wujudnya benar-benar hancur menjadi abu. Tak sembarangan, mempralina ogoh-ogoh juga harus dilakukan di kuburan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Prabowo Disebut Ogah Pasang Badan untuk Jokowi Soal Ijazah Palsu, Benarkah?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Ketiga 13-19 Oktober 2025
- 5 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Kolagen untuk Hilangkan Kerutan, Murah Meriah Mudah Ditemukan
- 6 Hybrid Sunscreen untuk Mengatasi Flek Hitam di Usia Matang 40 Tahun
- Patrick Kluivert Dipecat, 4 Pelatih Cocok Jadi Pengganti Jika Itu Terjadi
Pilihan
-
Bikin Geger! Gunung Lawu Dilelang jadi Proyek Geothermal, ESDM: Sudah Kami Keluarkan!
-
Uang MBG Rp100 T Belum Cair, Tapi Sudah Dibalikin!, Menkeu Purbaya Bingung
-
6 Rekomendasi HP 2 Jutaan Kamera Terbaik Oktober 2025
-
Keuangan Mees Hilgers Boncos Akibat Absen di FC Twente dan Timnas Indonesia
-
6 Rekomendasi HP Murah Tahan Air dengan Sertifikat IP, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Terungkap Setelah Viral atau Tewas, Borok Sistem Perlindungan Anak di Sekolah Dikuliti KPAI
-
Pemerintah Bagi Tugas di Tragedi Ponpes Al Khoziny, Cak Imin: Polisi Kejar Pidana, Kami Urus Santri
-
Akali Petugas dengan Dokumen Palsu, Skema Ilegal Logging Rp240 Miliar Dibongkar
-
Pemprov DKI Ambil Alih Penataan Halte Transjakarta Mangkrak, Termasuk Halte BNN 1
-
Menag Ungkap Banyak Pesantren dan Rumah Ibadah Berdiri di Lokasi Rawan Bencana
-
Menag Ungkap Kemenag dapat Tambahan Anggaran untuk Perkuat Pesantren dan Madrasah Swasta
-
Gus Irfan Minta Kejagung Dampingi Kementerian Haji dan Umrah Cegah Korupsi
-
Misteri Suap Digitalisasi Pendidikan: Kejagung Ungkap Pengembalian Uang dalam Rupiah dan Dolar
-
Usai Insiden Al Khoziny, Pemerintah Perketat Standar Keselamatan Bangunan Pesantren
-
Kalah Praperadilan, Pulih dari Operasi Ambeien, Nadiem: Saya Siap Jalani Proses Hukum