Suara.com - Isu 'pelurusan sejarah' kembali mengemuka, dan salah satu nama yang paling konsisten menyuarakannya adalah politisi senior Partai Gerindra sekaligus Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Di permukaan, gagasan untuk mengkaji ulang sejarah terdengar mulia.
Sejarah memang bukanlah dogma yang kaku, ia adalah bidang studi yang dinamis dan bisa diperbarui seiring ditemukannya bukti-bukti baru.
Namun, ketika wacana ini digulirkan oleh seorang politisi aktif, konteksnya berubah total.
Ini bukan lagi murni soal pencarian kebenaran akademis, melainkan berisiko tinggi menjadi alat politik.
Wacana untuk 'meluruskan' atau menulis ulang sejarah Indonesia kembali mengemuka, seringkali dimotori oleh figur-figur politik seperti Fadli Zon.
Bagi sebagian kalangan, ini dianggap upaya mulia. Namun, bagi komunitas sejarawan dan pegiat demokrasi, ini adalah sirene bahaya yang nyaring.
Menulis ulang sejarah dengan pena politik, berisiko meruntuhkan pemahaman kita sebagai bangsa.
Ini bukan sekadar perdebatan di menara gading, melainkan menyangkut memori kolektif dan masa depan demokrasi.
Baca Juga: Bonnie Triyana: Hentikan Penulisan Ulang Sejarah versi Fadli Zon
Dengan mengacu pada pandangan para ahli, mari kita bedah lima imbas paling destruktif jika sejarah dibengkokkan untuk kepentingan sesaat.
1. Rehabilitasi Orde Baru dan Romantisasi Otoritarianisme
Salah satu agenda utama politisasi sejarah adalah mengubah citra Orde Baru.
Sejarawan dan sosiolog Ariel Heryanto dalam berbagai analisisnya menyoroti bahaya "amnesia selektif" ini.
Ia mengkritik narasi yang meromantisasi era Soeharto dengan slogan "piye kabare, penak jamanku to?".
"Politisasi semacam ini sengaja menonjolkan stabilitas semu dan pembangunan fisik, sementara secara sistematis menghapus memori tentang pemberangusan kebebasan, korupsi masif, dan pelanggaran HAM berat. Jika narasi ini yang dominan, generasi muda akan belajar bahwa otoritarianisme adalah harga yang pantas dibayar untuk pembangunan, sebuah gagasan yang sangat anti-demokrasi," ujar Ariel Heryanto dalam sebuah esainya.
2. Mengunci Narasi Tunggal Tragedi Kemanusiaan 1965
Peristiwa G30S dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya adalah luka paling kompleks dalam sejarah bangsa.
Sejarawan Bonnie Triyana, pendiri Majalah Historia, dengan tegas menolak penyederhanaan sejarah untuk tujuan politik.
"Sejarah itu bukan pengadilan yang tugasnya mencari siapa yang mutlak salah dan benar. Tugas sejarawan adalah menyajikan kompleksitas peristiwa berdasarkan fakta dan ragam sumber," tegas Bonnie.
"Upaya 'meluruskan' sejarah yang bertujuan mengembalikan narasi tunggal versi Orde Baru akan membunuh empati kita. Ini akan menutup pintu rekonsiliasi dan melanggengkan stigma terhadap jutaan korban dan keluarganya yang tidak pernah diadili."
Pelurusan Sejarah oleh Akademisi
- Berbasis Bukti
Menggunakan data, arsip, artefak, dan sumber primer yang dapat diverifikasi secara ilmiah. - Multiperspektif
Melihat satu peristiwa dari berbagai sudut pandang, termasuk dari sisi korban, pelaku, dan saksi mata. - Tujuan Pemahaman
Mencari kebenaran dan pemahaman yang lebih utuh atas masa lalu untuk dijadikan pelajaran. - Proses Terbuka
Melibatkan diskusi, debat, dan tinjauan sejawat (peer review) di kalangan komunitas ilmiah.
Politisasi Sejarah oleh Politisi
- Berbasis Agenda
Memilih dan memilah fakta yang sesuai dengan agenda politik atau ideologi tertentu. - Narasi Tunggal
Memaksakan satu versi cerita yang absolut dan menolak sudut pandang lain yang berbeda. - Tujuan Legitimasi/Delegitimasi
Membenarkan kekuasaan kelompoknya atau menyalahkan dan mendiskreditkan lawan politik. - Proses Tertutup
Ditentukan oleh segelintir elite politik tanpa ruang untuk kritik atau perdebatan publik yang sehat.
Sejarah adalah cermin bangsa. Jangan biarkan cermin itu retak oleh kepentingan sesaat.
3. Delegitimasi Perjuangan Reformasi 1998
Gerakan Reformasi 1998 adalah fondasi demokrasi Indonesia modern.
Namun, dalam kerangka politisasi sejarah, gerakan ini bisa dengan mudah didistorsi.
Pengamat politik sering mengingatkan bahwa narasi tandingan bisa diciptakan untuk melemahkan makna reformasi.
4. Menguatnya Politik Identitas dan Perpecahan Bangsa
Sejarah yang dipolitisasi adalah bahan bakar paling efektif untuk politik identitas.
Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengingatkan bahwa sejarah bisa menjadi "alat pemukul" atau "cermin".
Politisasi mengubah sejarah menjadi alat pemukul. Narasi akan fokus pada superioritas satu kelompok (etnis, agama, atau golongan) dan menyingkirkan peran kelompok lain, menciptakan retakan sosial yang dalam dan berbahaya.
5. Membunuh Nalar Kritis di Ruang Kelas
Inilah dampak jangka panjang yang paling merusak. Sejarawan senior LIPI (kini BRIN), Asvi Warman Adam, adalah salah satu suara paling vokal menentang indoktrinasi sejarah.
"Ketika negara memaksakan satu versi kebenaran sejarah, maka yang mati bukan hanya sejarah itu sendiri, tapi juga nalar kritis generasi penerusnya," tegas Asvi.
"Pendidikan sejarah seharusnya menjadi ajang dialog, bukan doktrin. Siswa harus diajarkan cara bertanya 'mengapa' dan 'bagaimana', bukan hanya 'apa' dan 'kapan'. Jika tidak, kita hanya akan mencetak generasi penghafal, bukan pemikir."
Jadilah Generasi Kritis, Bukan Pasif
Debat tentang sejarah adalah hal yang sehat, namun harus tetap berada di koridor akademis yang bertanggung jawab.
Agenda "tulis ulang sejarah" yang didorong oleh kepentingan politik adalah jalan pintas menuju perpecahan.
Bagi kita, generasi muda, tugasnya bukanlah menelan mentah-mentah narasi dari satu pihak saja, baik itu versi Orde Baru maupun versi "pelurusan" dari politisi.
Tugas kita adalah menjadi generasi yang kritis: membaca dari berbagai sumber, mendengarkan suara para korban yang terbungkam, dan memahami bahwa sejarah seringkali tidak hitam-putih.
Bagaimana menurutmu? Perlukah sejarah bangsa ini ditulis ulang oleh negara, atau sebaiknya kita membuka semua arsip dan membiarkan publik serta sejarawan menilainya secara terbuka?
Berita Terkait
-
Bonnie Triyana: Hentikan Penulisan Ulang Sejarah versi Fadli Zon
-
5 Kontroversi Fadli Zon: Like Konten Begituan dan Sering Sindir Presiden
-
Beda dengan Fadli Zon, Pidato Habibie Akui Pemerkosaan di Peristiwa 98 Kembali Viral
-
Klarifikasi Soal Pemerkosaan Massal, Baskara Putra Soroti Tak Adanya Permintaan Maaf dari Fadli Zon
-
Menbud Fadli Zon: Coba Bayangkan jika Bangsa Kita Dicap Pemerkosa Massal
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Semua Agama Dapat Porsi, Menag Nazaruddin Umar: Libur Nasional 2026 Sudah Adil
-
Presiden Prabowo 'Ketok Palu!' IKN Resmi Jadi Ibu Kota Politik 2028 Lewat Perpres Baru
-
Penggugat Ijazah Gibran Bantah Bagian dari Musuh Keluarga Jokowi: Saya Tidak Sedang Mencari Musuh!
-
Rekam Jejak Wahyudin Anggota DPRD Gorontalo, Narkoba hingga Video Rampok Uang Negara
-
Bongkar Gurita Korupsi Pertamina, Kejagung Periksa Jaringan Lintas Lembaga
-
Guntur Romli Murka, Politikus PDIP 'Rampok Uang Negara' Terancam Sanksi Berat: Sudah Masuk Evaluasi!
-
Dasco: UU Anti-Flexing Bukan Sekadar Aturan, tapi Soal Kesadaran Moral Pejabat
-
Harta Kekayaan Minus Wahyudin Moridu di LHKPN, Anggota DPRD Ngaku Mau Rampok Uang Negara
-
Dapat Kesempatan Berpidato di Sidang Umum PBB, Presiden Prabowo Bakal Terbang ke New York?
-
SPBU Swasta Wajib Beli BBM ke Pertamina, DPR Sebut Logikanya 'Nasi Goreng'